Jakarta (ANTARA News) - Bila jeli memerhatikan pemberian ucapan selamat pada perayaan hari-hari besar keagamaan, ada ciri khas tersendiri yang seluruhnya berujung keinginan positif, pada sebuah harapan menjadi lebih baik.Perayaan atau peringatan imlek pada masa lalu sangat bersahaja dan sarat dengan nuansa religi. Imlek dikonsepkan dengan orang bersehambayang di kelenteng dan vihara, orang-orang keturunan menjalankan ritual dengan bersih-bersih menjelang tahun baru,
Kalau ucapan Idul Fitri bagi umat Muslim menekankan pada permintaan mohon maaf lahir batin kembali ke fitrah, ucapan Natal bagi umat Kristen cenderung memilih kata damai di bumi, berkat dan kasih, maka bagi umat konghucu dan umat Budha perayaan Imlek diiringi harapan memeroleh kemakmuran dan kesehatan di sepanjang tahun.
"Gong Xi Fat Chai", secara harafiah berarti semoga banyak rejeki. Ucapan ini lazim terdengar di kalangan warga keturunan Tionghoa yang tengah merayakan Imlek (Tahun Baru Kalender Tradisional China).
Perayaan Imlek selain ditandai dengan ritual, antara lain sembahyang di kelenteng dan vihara.
Tujuh hari sesudah Imlek dilakukan persembahyangan kepada Sang Pencipta, tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
Lima belas hari sesudah Imlek dilakukan sebuah perayaan yang disebut dengan Cap Go Meh.
Masyarakat keturunan Tionghoa, umumnya merayakannya dengan menyuguhkan lontong Cap Go Meh yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, dan telur pindang.
Perayaan Imlek atau Sin Tjia sesungguhnya adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di China untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama.
Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, maka segala bentuk persembahannya adalah berupa berbagai jenis makanan.
Idealnya, pada setiap acara sembahyang Imlek disajikan minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue yang mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12.
Hidangan yang wajib adalah mie panjang umur (siu mi) dan hidangan yang dipilih biasanya mempunyai arti "kemakmuran," "panjang umur," "keselamatan," atau "kebahagiaan," dan merupakan hidangan kesukaan para leluhur.
Perayaan Imlek juga ditandai dengan pesta kembang api, menyuguhkan atraksi barongsai dan pemberian angpao (amplop berisi uang) kepada orangtua, anak-anak, atau mereka yang belum berpenghasilan.
Sejumlah ritual yang menyertai perayaan Imlek di Indonesia, menurut Sejarahwan Dr Didi Kwartanada, memang masih dilaksanakan seperti di negeri leluhur China.
Sejak zaman Dinasti Han (202 SM) merupakan tradisi agama Konghucu yang sangat sakral dan bermakna.
Bagi pemeluk Konghucu, Imlek merupakan hari raya keagamaan untuk memperingati kelahiran Konfusius (Gong Zi).
Namun, di negaranya sendiri Imlek lambat laun tidak lagi dianggap sebagai perayaan keagamaan.
Seluruh etnis Tionghoa, tidak terbatas pada pemeluk Konghucu saja, seluruh masyarakat ikut merayakan, walaupun dengan cara yang sederhana dan berbeda-beda.
Kebebasan perayaan Imlek bagi warga keturunan di Indonesia, mengalami pasang surut.
"Pemberian hari libur untuk merayakan Imlek sudah dilakukan pada jaman penjajahan Jepang. pada tahun 1943. Ini pertama kali warga keturunan Tionghoa bisa merayakan Imlek secara terbuka. Ada alasan tertentu mengapa Pemerintah Jepang memberikan keleluasaan sebab mereka anti barat."
Pemerintah Jepang tidak menginginkan anak-anak keturunan khususnya, terus menerus dicekoki budaya barat sehingga sekolah-sekolah Belanda kemudian ditutup dan sekolah-sekolah China diaktifkan dengan diberi tambahan kurikulum berupa mata pelajaran Bahasa Jepang, ungkap Didi, anggota Dewan pakar Yayasan Nation Building (Nabil).
Jepang melancarkan politik refinivikasi terhadap orang-orang peranakan di Tionghoa-kan kembali dan diwajibkan menguasai bahasa Mandarin, setelah selama ratusan tahun dipengaruhi budaya barat pada zaman penjajahan Belanda.
Pada zaman kemerdekaan pimpinan presiden Seokarno Hatta, warga keturunan masih diperbolehkan merayakan Imlek karena adanya kepentingan politik dari Indonesia dari negara-negara pemenang Perang Dunia II, salah satunya adalah Tiongkok.
Selanjutnya kebebasan merayakan Imlek mengalami penekanan pada pemerintahan Orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun melarang etnis China merayakan Imlek, sehingga kalaupun ada perayaan dilaksanakan dalam lingkup terbatas, seperti lingkungan keluarga.
Perubahan mulai terasa sejak dibukanya keran demokrasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Imlek menjadi hari libur nasional dan dirayakan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat keturunan Tionghoa.
"Ini sangat berbeda dengan zaman Orde Baru, masyarakat keturunan Tionghoa sangat ditekan dan tertekan, sehingga peringatan Imlek dirayakan di rumah dengan sangat sederhana".
Tepatnya pada tahun 2000, Pemerintahan Gus Dur mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan Imlek di Indonesia.
Inpres Nomor 14/1967 dikeluarkan Presiden RI periode 1966-1998, Soeharto, lantaran situasi dan kondisi politik saat itu, antara lain Pemerintah China dianggap ikut menyebarkan ajaran komunis -yang dilarang pemerintah Orde Baru (Orba)- ke Indonesia.
Prosperous to Great Healty
"Gong Xie Fat Cai, may good healty, Properity,& happiness", "Selamat tahun Baru Imlek semoga dipenuhi rejeki, kebahagiaan dan kesehatan"!.
Rangkaian kata berupa ucapan selamat menyambut Tahun Baru Imlek kini mudah ditemui dimana-mana.
Di layar televisi, koran, spanduk, bahkan sejumlah gedung perkantoran di jalan-jalan protokol secara meriah memasang ucapan tersebut.
Imlek sebagai perayaan menyambut tahun baru bagi masyarakat Tionghoa menjadi ritual doa untuk memanjatkan harapan lebih baik untuk satu tahun ke depan.
Makan Tahun Baru China, di `Timur Jauh adalah akhir musim dingin dan awal musim semi, dimana banyak petani di negeri China mengambil kesempatan ini untuk menyambut musim semi untuk hasil panenan baru, sehingga Tahun Baru Imlek sesungguhnya adalah pestanya para petani untuk menyambut musim semi yang dirayakan dalam kesahajaan.
"Perayaan atau peringatan imlek pada masa lalu sangat bersahaja dan sarat dengan nuansa religi. Imlek dikonsepkan dengan orang bersehambayang di kelenteng dan vihara, orang-orang keturunan menjalankan ritual dengan bersih-bersih menjelang tahun baru, mengikuti berbagai aturan ritual yang diturunkan sejak zaman nenek moyang," kata sejarawan Dr Ddidi Kwartanada.
Demikian pula dalam menyampaikan ucapan tahun baru, ujar Didi, telah mengalami perubahan.
"Kalau zaman buyut dan orang tua kami dulu, ucapan yang lazim disampaikan adalah "Sim Cun Kiong Hie", diartikan secara harafiah : Selamat datang musim semi. Apa yang diucapkan benar-benar masih mengadopsi budaya asli, meski tetap bermakna sebuah harapan yang lebih baik", ungkapnya.
Setelah keran terbuka sejak era kepemimpinan Gus Dur dilanjutkan melalui era reformasi, perayaan Tahun Baru Imlek menghadirkan beragam bentuk maupun versi perayaannya.
Selain perayaan dilakukan di ruang-ruang publik, seperti gedung perkantoran, mal, restoran, hotel dan sebagainya, juga dilakukan perayaan yang bersifat nasional yang dihadiri presiden dan para tokoh politik lainnya, yang intinya mengarah pada ruang publik (public sphere).
Dirayakannya di pusat-pusat keramaian juga telah menyulap perayaan Tahun Baru Imlek menjadi sarana bagi jalur komoditas yang artinya mengundang para kapitalis untuk masuk.
Tidak heran bila kemudian perayaan Imlek kemudian tidak sekadar ritual doa dan persembahan untuk menyambut datangnya tahun baru, namun kental dengan aroma komersial, sampai-sampai dalam pemberian ucapan yang dulu lazim dan akrab di telinga para orang tua, Sim Cun Kiong Hie", kini tergeser oleh "Gong Xi Fat Chai", yang lebih bernuansa materi.
"Ucapan Imlek yang lazim digunakan adalah Gong Xi Fat Chai, mengharapkan adanya kemakmuran rejeki, keberuntungan, kesehatan menyertai tahun berjalan. Ini tidak salah, sebab ucapan selamat datang musim semi memang tidak cocok dengan negeri kita. tetapi patut dicatat ucapan memohon kemakmuran tidak lepas dari pengaruh kapitalis yang dibawa oleh orang-orang etnis China Hongkong, Taiwan dan kemudian masuk ke Indonesia," ujar Didi lelaki peranakan Tionghoa ini.
Bagi Yulian (57) warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Kemakmuran Jakarta Barat, mensyukuri perayaan Imlek semakin terbuka dan kemeriahannya tidak lagi dirasakan warga keturunan saja, namun masyarakat dari berbagai etnis di Indonesia ikut menikmati.
"Yang penting bukan pesta-pestanya sebab sekarang ada kecenderungan generasi muda sudah enggan mengikuti ritual yang diturunkan oleh secara turun menurun oleh nenek moyang. Memang banyak sekali ritual yang harus dijalankan menjelang, tepat perayaan Imlek sampai datangnya Cap Go Meh pda 15 hari setelah Imlek," kata guru Bahasa Mandarin ini.
Yulian pun menyadari makna Imlek di kota-kota besar sudah sangat kental dipengaruhi unsur komersial.
Bahkan beberapa ornamen dan seni budaya China seperti Barongsai yang dahulu dianggap sakral dan dihadirkan pada acara-acara tertentu saja, kini sudah dikomersilkan bisa dimainkan kapan saja.
"Zaman memang sudah berubah. Dulu waktu perayaan Imlek dilarang, kami memang bisa merasakan kekhusukan dalam menjalankan ritual, mungkin karena adanya tekanan itu kami menjadi lebih protektif.
Saat ini semuanya jauh lebih baik, Imlek boleh menjadi komoditas tetapi ritual persembahyangan Imlek menjadi misteri antara pribadi dengan Yang Maha Esa," tambahnya.
(Z003)
Oleh Zita Meirina
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012