"Walaupun sejauh ini persentase yang masuk RS tidak besar, jika jumlah total kasus jadi tinggi, persentase yang harus masuk RS mungkin saja meningkat. Dengan demikian, kesiapan RS dan fasyankes diperlukan," katanya ketika dihubungi di Jakarta, Minggu.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UI itu mengatakan jika memang peningkatan kasus COVID-19 disebabkan oleh subvarian Omicron BA.4 atau BA.5, sejauh ini gejala yang ditimbulkan tidaklah berat.
Baca juga: Kemenkes lacak subvarian baru Omicron di antara pasien positif
Baca juga: Kemenkes: 20 pasien subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 sudah sembuh semua
"Kalau memang peningkatan kasus diakibatkan BA.4 dan BA.5, sejauh ini gejalanya tidaklah berat, sehingga persentase yang butuh masuk RS tidak besar. Sehingga, dampak pada RS atau fasyankes tidak seberat pada waktu Delta," katanya.
Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara itu mengatakan bahwa pada saat ini beberapa negara Eropa juga tengah mengantisipasi tentang kemungkinan perawatan di RS, terutama untuk layanan dan ruang perawatan intensif (ICU) bagi lansia.
"Tentang lansia ini, ada yang menyebut di atas 60 tahun ada juga di atas 65 tahun. Mungkin lebih baik kalau kita juga mempersiapkan hal yang sama," katanya.
Menurutnya, antisipasi perlu dilakukan guna mencegah kenaikan jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air. "Seperti yang dikatakan sejak awal, tentu saja tetap harus diantisipasi kalau sekiranya kasus meningkat cukup tinggi, walau persentase yang sakit berat kecil, kalau jumlah total kasus jadi tinggi, persentase yang harus masuk RS dapat saja meningkat," katanya.
Baca juga: Kapuskes TNI sebut Omicron subvarian BA.4 dan BA.5 tidak berbahaya
Tjandra mengatakan bahwa kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia beberapa pekan terakhir menunjukkan pandemi masih berlangsung. "Kenaikan kasus COVID-19 kembali menegaskan bahwa kondisi saat ini masih dalam pandemi, dan situasi dapat saja sulit diperkirakan," katanya
Tjandra menambahkan bahwa saat ini perlu dicari dengan lebih pasti penyebab kenaikan kasus, dengan menggunakan dua cara. Pertama, meningkatkan pengurutan genom menyeluruh atau whole genome sequencing (WGS) sesuai proporsi. Kedua, perlunya penyelidikan epidemiologi mendalam pada semua atau sebagian besar kasus.
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022