Perusahaan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) berencana melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) sebanyak 579,9 juta saham baru pada 4-6 Juli 2022 di Bursa Efek Indonesia (BEI).Dana segar yang berpotensi diraup ARKO antara Rp165,85 miliar sampai dengan Rp179,77 miliar.
Dalam keterangan di Jakarta, Rabu., Direktur Utama ARKO Aldo Artoko mengatakan, jumlah saham perseroan yang ditawarkan itu mewakili 20 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah IPO saham.
Harga saham ARKO yang ditawarkan kepada publik berada di rentang Rp286 sampai Rp310 per saham.
"Dana segar yang berpotensi diraup ARKO antara Rp165,85 miliar sampai dengan Rp179,77 miliar," ujar Ald.
Baca juga: Saraswanti Indoland optimistis kinerja terdongkrak setelah IPO
Menurut Aldo, perseroan akan menggunakan dana hasil IPO untuk dua keperluan. Pertama, sekitar 63 persen digunakan untuk tambahan investasi pada anak perusahaan yang akan dimaksimalkan untuk pengembangan proyek-proyek EBT ke depannya, yaitu 54 persen di PT Arkora Hydro Sulawesi (AHS), 29 persen di PT Arkora Energi Baru dan 17 persen di PT Arkora Tenaga Matahari. Kedua, sekitar 37 persen akan digunakan untuk pelunasan kewajiban jangka pendek.
Saham ARKO akan dicatatkan di BEI pada 8 Juli 2022. Aldo berharap, dapat menerima pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk IPO pada 30 Juni 2022.
Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi efek dalam IPO ARKO, yakni PT Lotus Andalan Sekuritas dan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia.
Ke depan, Aldo meyakini bisnis EBT masih memiliki potensi besar di Indonesia, bahkan dalam teknologi yang sudah matang seperti hidro, surya dan angin. Kehadiran hydro sudah kompetitif dengan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pemanfaatan potensi EBT masih jauh di bawah 10 persen.
Mengutip data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas energi yang digunakan setiap tahun dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Sebagian komponen utamanya atau lebih dari 60 persen berasal dari PLTA.
Total kapasitas terpasang pembangkit berbasis energi terbarukan pada periode 2015-2020 mengalami peningkatan sebesar 22,93 persen
Masih berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi elektrifikasi pembangkit listrik tenaga surya atap di Indonesia mencapai 32,5 GW, dimana hingga Juli 2021 total kapasitas terpasang baru mencapai 35,56 MW. Artinya, baru mencapai 0,1 persen dari total kapasitas yang diproyeksikan.
Baca juga: Aspebindo cari peluang kerja sama energi terbarukan ke AS
Bermodalkan pengalaman di bidang EBT, Arkora Hydro berencana mencari peluang akusisi. Tidak hanya itu, perseroan juga aktif mencari proyek hidro berpotensi besar di atas 25 MW.
Arkora Hydro telah menyelesaikan pembangunan proyek mini hidro Cikopo-2 dengan total biaya 1,65 juta dolar AS per MW.
Selain itu, pengerjaan proyek Tomasa menelan biaya investasi 1,75 juta dolar AS per MW. Biaya investasi ini di bawah rata-rata industri sebesar 2,2 - 2,5 juta dolar AS per MW. Proyek Tomasa merupakan pembangkit listrik berkapasitas 10 (2x5) MW.
Proyek tersebut milik Arkora Hydro melalui anak usahanya, yaitu PT Akora Sulawesi Selatan. Tomasa proyek memasuki tahapan commercial operations date (COD) pada bulan Maret 2020.
Adapun proyek Yaentu di Poso (Sulawesi Tengah) sedang dalam konstruksi. Proyek Yaentu dengan kapasitas 10 (2x5) MW ini dikembangkan oleh PT Arkora Hydro Sulawesi (AHS), anak perusahaan tidak langsung milik Arkora Hydro.
"Proyek ini sedang dalam pengerjaan. Hingga Maret 2022, proses pengerjaan proyek telah mencapai 50%. Proyek ini ditargetkan memasuki tahapan COD pada triwulan I 2023," kata Aldo.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022