Saya lebih mendukung yang retail dibanding wholesale ya, namun harus ada exit strategy yang diterapkan untuk menghindari sisi negatif
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyarankan bank sentral memilih mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) berbentuk retail.
“Saya lebih mendukung yang retail dibanding wholesale ya, namun harus ada exit strategy yang diterapkan untuk menghindari sisi negatif,” katanya saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa.
Nailul Huda menjelaskan bahwa pada pertemuan terakhirnya dengan Bank Indonesia, para stakeholders masih membahas bentuk CBDC yang nantinya akan ditetapkan. CBDC sendiri, ujarnya, terbagi menjadi dua bentuk yakni retail dan wholesale.
“CBDC berbasis retail dalam artian Bank Indonesia ketika membuat uang rupiah digital itu bisa beredar di masyarakat. Wholesale itu mata uang digital nanti cuma ada di perbankan, jadi hanya antar perbankan atau perbankan dengan bank sentral,” ucapnya.
Masing-masing bentuk, lanjutnya, memiliki sisi positif dan negatif. Mata uang digital retail akan membutuhkan banyak biaya untuk pendistribusian dari Bank Indonesia melalui pihak ketiga seperti perbankan kepada masyarakat.
Selain itu, mata uang digital retail tidak bisa dijadikan sebagai dana pihak ketiga yang salah satunya bisa digunakan perbankan sebagai modal menyalurkan kredit. Hal tersebut dinilainya akan bermuara pada kemacetan kredit dan berdampak pada likuiditas perbankan.
“Makanya di beberapa negara Eropa, mereka melihat bahwa perlu ada pembatasan untuk orang tersebut mempunyai kekayaan di uang digital,” tuturnya.
Namun, dampak positif dari mata uang digital retail diantaranya bisa meningkatkan literasi keuangan masyarakat, mempercepat perputaran uang karena bersifat borderless dan timeless serta menjadi opsi yang efektif untuk membantu pemerintah menyalurkan bantuan langsung tunai kepada masyarakat.
“Kemudian dengan digitalisasi biaya administrasi akan semakin berkurang dan juga dari sisi inflasi ketika banyak masyarakat yang memegang uang digital, itu kan tidak akan terpengaruh oleh nilai mata uangnya,” ucap Nailul.
Sedangkan untuk mata uang digital wholesale akan memudahkan transaksi antar bank dan yang membuat biaya transfer antar bank semakin rendah. Selain juga mempermudah Bank Indonesia dalam mengatur peredaran uang digital.
“Negatifnya memakai wholesale tidak akan berpengaruh langsung ke masyarakat karena manfaatnya hanya dirasakan antar bank. Nah ini yang sebenarnya alasan BI masih ragu menetapkan retail atau wholesale,” katanya.
Adapun digitalisasi dan pandemi COVID-19 membuat aset kripto tumbuh cepat seiring pertumbuhan ekonomi yang turun tajam, diikuti kebijakan moneter dan fiskal longgar yang terjadi secara merata di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Aset kripto memiliki potensi untuk mengembangkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan, namun di sisi lain juga berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan.
Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya. Hal tersebut melatarbelakangi bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan CBDC. Mayoritas bank sentral dunia pun telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing.
Pembahasan mengenai CBDC juga menjadi topik dalam rangkaian pertemuan G20 bertajuk Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2022 dengan topik "Future of Money in The Digital Era" di Nusa Dua, Bali.
Baca juga: BI: Desain acuan mata uang digital bank sentral masih belum selesai
Baca juga: Bank Dunia: Mata uang digital tak jamin akses kepada inklusi keuangan
Baca juga: BI: Mata uang digital bank sentral bisa tingkatkan pasar modal
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022