"Ketika petani sejahtera pasti produksi pangan meningkat, kalo petani sejahtera pasti petani tidak akan mengkonversi lahannya menjadi lahan non pertanian," kata Dwi Andreas di Jakarta, Rabu.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mengatakan kondisi petani belum sepenuhnya sejahtera, mengingat selama ini program pembangunan pangan pemerintah terlalu fokus kepada konsumen, bukan produsen.
Baca juga: Kementan-Kemendag bakal intervensi pasar, agar harga pangan tak tinggi
"Kita lihat belakangan ini saat harga-harga naik, inflasi naik, pemerintah menggenjot agar harga turun sehingga yang dirugikan petani-petani kecil," katanya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga belum siap menghadapi guncangan harga pangan atau krisis pangan dunia di masa depan, karena orientasi impor komoditas yang masih tinggi.
Saat ini, impor delapan komoditas utama Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat 20 juta ton. Ia pun memperkirakan realisasi impor pada 2022 akan meningkat dibanding tahun 2021.
Baca juga: Presiden Jokowi ajak masyarakat bersyukur harga beras tidak naik
Sementara itu, program ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti program food estate justru lebih banyak menimbulkan kontroversi karena penyediaan lahan yang tidak sesuai.
Kondisi ini yang menyebabkan peringkat Indeks Ketahanan Pangan Indonesia mengalami penurunan, dari tahun 2019 pada peringkat 62, tahun 2020 ke peringkat 65 hingga di tahun 2021 ke peringkat 69 dari 113 negara.
Sebelumnya, isu krisis pangan atau food insecurity menjadi tantangan baru setelah COVID-19, yang dipicu agresi militer Rusia ke Ukraina, yang berdampak kepada kenaikan harga komoditas seperti gandum dan pupuk.
Baca juga: Pemerintah kembangkan literasi keuangan bagi petani hingga nelayan
Baca juga: Indef: BUMN berperan penting dukung peningkatan kesejahteraan petani
Pewarta: Sandi Arizona
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022