"G20 memegang peranan penting untuk akselerasi transisi energi dan pengelolaannya," kata Tata dalam diskusi virtual "Quo Vadis Transisi Energi di G20? Refleksi atas Hasil KTT G7 di Jerman" di Jakarta, Selasa.
Tata mengatakan transisi energi ke energi bersih dan terbarukan merupakan keniscayaan, karena harga bahan bakar fosil terus fluktuatif dan diperebutkan di pasar internasional, dan negara-negara berkembang bisa kalah berkompetisi dengan negara-negara maju dalam perebutan itu.
Menurut dia, persoalan krisis energi semakin menekankan kebutuhan akselerasi transisi energi dari energi fosil ke energi bersih.
Selain sebagai penyebab utama krisis iklim, energi fosil ke depan akan semakin mahal dan langka karena persediaannya akan semakin terbatas di masa depan, sementara kebutuhan energi semakin meningkat.
Dalam jangka pendek, Tata menuturkan krisis energi menunjukkan pentingnya pengelolaan transisi energi agar tidak berdampak, terutama terhadap kelompok berpendapatan rendah.
"Apa yang ada dalam agenda G20 tidak hanya akselerasi transisi energinya, tapi juga bagaimana transisi energi yang inklusif, demokratis dan adil," ujarnya.
Tata menuturkan akselerasi energi membutuhkan dukungan pembiayaan dan teknologi. Pengelolaan transisi harus bersifat adil, inklusif, demokratis, anti-korupsi dan mendukung ekonomi sirkular.
Oleh karenanya, negara-negara di dunia, terutama negara maju, harus mengalokasikan pendanaan untuk pembiayaan transisi energi.
Komitmen negara-negara di dunia, khususnya G20, juga harus semakin kuat untuk melakukan akselerasi transisi energi dalam rangka mendukung upaya mengatasi krisis iklim dan polusi serta menjaga ketahanan energi.
Bagi Indonesia, transisi energi akan mendukung upaya mencapai emisi nol bersih, memberhentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap, mendorong ketahanan dan akses energi untuk semua, serta mengembangkan industri energi terbarukan dan membuka lapangan kerja.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022