Ia menyebutkan hingga saat ini tercatat sebelas program intervensi spesifik penurunan stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kesebelas program itu menyasar pada siklus daur kehidupan perempuan, mulai dari saat masih menjadi remaja, calon pengantin (catin), pra-hamil, hingga melahirkan anak.
“Untuk ibu menyusui, ini perlu ditambahkan program-programnya. Ibu menyusui ini penting sekali peranannya terkait dengan ASI eksklusif (pada saat setelah melahirkan). Peran mengawal ASI eksklusif itu sangat penting diperhatikan,” kata Syafiq dalam konferensi pers virtual, Selasa.
Pertama, Syafiq merekomendasikan program terkait dengan status gizi ibu hamil. Ia menjelaskan bahwa status gizi menentukan berapa banyak cadangan lemak yang dibutuhkan untuk memproduksi ASI pada saat ibu memasuki periode menyusui.
“Jadi pada saat hamil, ini (status gizi) sangat penting supaya sewaktu menyusuinya sudah siap dengan cadangan lemak yang cukup,” ujarnya.
Baca juga: 3.630 anak stunting dapat bantuan lewat Bapak Asuh Anak Stunting
Kedua, program terkait dengan inisiasi menyusui dini (IMD). Menurut Syafiq, proses IMD ini penting untuk ditambahkan ke dalam program intervensi spesifik karena terkait langsung dengan keberhasilan ASI eksklusif yang diberikan pada bayi selama enam bulan.
Ketiga, program yang perlu ditambahkan yaitu memastikan kecukupan gizi pada ibu menyusui karena tanpa konsumsi gizi yang baik, kata Syafiq, ibu menyusui bisa gagal dalam mengawal ASI eksklusif.
“Diperlukan zat gizi yang cukup supaya ibu menyusui mampu memberikan ASI eksklusif selama enam bulan,” tuturnya.
Syafiq menjelaskan bahwa kebutuhan gizi pada ibu dalam masa menyusui justru lebih tinggi jika dibandingkan dengan masa kehamilan, bahkan jika dibandingkan pada saat ibu tidak hamil.
“Setelah anaknya lahir, jangan lupa ibu harus konsumsi lebih banyak gizi dibandingkan pada saat anaknya masih dalam kandungan,” ujar Syafiq.
Terakhir, ia merekomendasikan tambahan program terkait dengan edukasi manajemen laktasi yang benar pada ibu menyusui. Manajemen laktasi, terang Syafiq, mencakup durasi hingga frekuensi pemberian ASI dalam satu hari agar bayi bisa mendapatkan ASI secara baik dan kebutuhan gizinya terpenuhi.
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 adalah 24,4 persen. Penelitian SEANUTS II juga menunjukkan angka prevalensi yang hampir tidak jauh berbeda, yakni 28,4 persen atau satu di antara 3,5 anak berperawakan pendek disebabkan oleh kekurangan gizi kronis.
“Pemenuhan gizi yang belum tercukupi baik sejak dalam kandungan hingga bayi lahir dapat menjadi pemicunya (malnutrisi). Karenanya, penting bagi perempuan khususnya ibu dan calon ibu untuk membekali diri dengan pengetahuan terkait kebutuhan gizi berkualitas bagi diri, juga keluarga,” kata Syafiq.
Baca juga: Perempuan punya peran signifikan untuk cegah masalah stunting
Baca juga: Kalbe bantu turunkan "stunting" di Banten
Baca juga: BKKBN-Kedubes Tunisia teken MoU bangun keluarga berkualitas
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022