Ketua Komite Tetap Energi Baru Terbarukan Kadin Muhammad Yusrizki mengatakan narasi transisi energi yang tercipta seolah-olah eksklusif berpusat pada energi terbarukan di sektor kelistrikan, padahal 76 persen penggunaan energi industri belum tersentuh transisi energi.
"Kita lupa bahwa bentuk energi final yang dikonsumsi oleh sektor swasta, khususnya industri tidak hanya listrik, tetapi juga ada energi panas," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Yusrizki menjelaskan apabila dilihat dari kacamata bentuk energi primer bagi industri, listrik bukan sumber energi primer.
Berdasarkan Handbook of Energy & Economy Statistics of Indonesia tahun 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, dari keseluruhan konsumsi energi sektor industri hanya 23,1 persen yang berasal dari listrik, 33 persen berasal dari batu bara, dan 43 persen berasal dari bahan bakar minyak.
"Jadi terdapat 76 persen porsi konsumsi energi industri yang seolah-olah hilang di tengah narasi transisi energi Indonesia,” jelasnya.
Melalui inisiatif Kadin Net Zero Hub, Yusrizki mengajak seluruh pemangku kepentingan terutama kalangan industri untuk melihat ulang proses transisi energi pada industri di Indonesia.
“Dekarbonisasi sektor kelistrikan penting, tetapi bukan berarti inisiatif-inisiatif transisi energi di industri cukup dilakukan melalui listrik yang lebih rendah karbon. Beri ruang bagi sektor kelistrikan, terutama Kementerian ESDM dan PLN untuk membuat perencanaan dan implementasi dekarbonisasi,” pesannya.
"Sembari menunggu kedua penggerak utama sektor kelistrikan, mari kita bersama-sama melihat potensi transisi energi di sektor industri yang secara proporsional lebih besar, lebih signifikan, dan bisa jadi kebutuhan investasi sekaligus dampak sosialnya tidak kalah dibandingkan sektor kelistrikan,” sambungnya.
Lebih lanjut Yusrizki juga menjelaskan ada banyak jalan menuju dekarbonisasi sektor kelistrikan, tidak melulu harus melalui penetrasi energi baru terbarukan dalam skala masif bagi semua konsumen.
Kadin Net Zero Hub beserta mitra-mitra strategisnya tegas memandang bahwa memberikan ruang gerak bagi industri untuk membeli listrik rendah karbon saat ini lebih penting dan lebih strategis dibandingkan membicarakan bagaimana dan kapan energi baru terbarukan skala besar dapat diakomodasi di jaringan listrik nasional.
Ia memandang opsi membeli listrik rendah karbon atau renewable procurement merupakan salah satu cara eksplorasi bagi industri di dalam negeri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mereka.
“Beri ruang bagi industri, tidak perlu terlalu rumit menghitung apakah listrik energi baru terbarukan ini lebih mahal dibandingkan listrik dari energi fosil. Bagi industri yang memang memerlukan, mereka dapat menghitung manfaat yang mereka bisa dapatkan dari membayar harga premium dari listrik energi baru terbarukan. Kuncinya adalah membuka opsi bagi industri,” terangnya.
Yusrizki berpendapat bila memang deregulasi sektor kelistrikan diperlukan untuk opsi pembelian listrik energi baru terbarukan di Indonesia, maka Kementerian ESDM yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan memulai proses tersebut.
Ia yakin ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh Kementerian ESDM apabila mereka melihat urgensi di sektor industri, tidak hanya mengedepankan tantangan dan urgensi di sektor kelistrikan semata.
Baca juga: Kadin: Keberlanjutan lingkungan perlu ditanamkan melalui pendidikan
Baca juga: Kadin nilai ekonomi sirkular ciptakan manfaat bagi sektor bisnis
Baca juga: Indonesia luncurkan "country platform" untuk mekanisme transisi energi
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022