• Beranda
  • Berita
  • Grant Thornton: Pemerintah perlu teruskan edukasi terkait pajak karbon

Grant Thornton: Pemerintah perlu teruskan edukasi terkait pajak karbon

22 Juli 2022 17:55 WIB
Grant Thornton: Pemerintah perlu teruskan edukasi terkait pajak karbon
Ilustrasi - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini (7/10/2021) mengatur berbagai kebijakan perpajakan, salah satunya mengenai pengenaan pajak baru berupa pajak karbon. ANTARA/HO-Kemenkeu/pri. (ANTARA/HO-Kemenkeu)
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani menyebutkan pemerintah Indonesia perlu terus mengedukasi masyarakat terkait penerapan pajak karbon untuk mengatasi perubahan iklim.
 
“Sehingga nantinya, ketika pemerintah menerapkan pajak karbon secara penuh, masyarakat dapat menerima dengan baik," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (22/7).
 
Ia mengapresiasi langkah awal pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi hijau, salah satunya dengan rencana penerapan pajak karbon kepada sektor yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, yang saat ini masih ditunda.

Baca juga: Sri Mulyani: Tak ada kendala teknis dalam implementasi pajak karbon
 
Menurutnya, penerapan pajak karbon memang harus dilakukan dengan perencanaan dan kalkulasi yang matang sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti inflasi.
 
"Penerapan pajak karbon dapat menimbulkan potensi kenaikan harga energi seperti BBM maupun listrik dengan bertambahnya ongkos produksi," imbuhnya.
 
Pemerintah semula akan menerapkan pemungutan pajak karbon mulai 1 Juli 2022 lalu, tetapi kembali menunda untuk kedua kalinya karena faktor ketidakpastian di tingkat global dan pertimbangan terkait kesiapan pelaku industri.
 
Pajak karbon sedang diperkenalkan di Indonesia dalam upaya untuk mengendalikan perubahan iklim dan memerangi pemanasan global sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Baca juga: Sri Mulyani cari waktu tepat untuk terapkan pajak karbon
 
Menurut Kementerian Keuangan, dana yang terkumpul dari pajak karbon akan digunakan untuk menambah dana pembangunan, mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta program bantuan sosial untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
 
Jika melihat data Bank Dunia, sampai pertengahan 2021, sekitar 35 negara telah menerapkan pajak karbon dengan kebijakan pajak yang beragam. Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak berbeda terhadap emisi karbon dari kendaraan dan pembangkit listrik.
 
Kendati bentuknya berbeda-beda, pajak karbon di skala global umumnya dihitung dengan satuan dolar Amerika Serikat per ton COe2, tetapi ada juga negara yang menerapkan pengendalian emisi karbon melalui instrumen kebijakan pasar karbon atau Emission Trading System (ETS) seperti Tiongkok, Korea Selatan, Selandia Baru, beberapa negara anggota Uni Eropa, dan sejumlah negara bagian Amerika Serikat.
 
Di tahap awal nanti, Indonesia akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, dengan tarif Rp30.000 atau sekitar 2,1 dolar AS per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e) dengan pemungutan pajak pada emisi karbon yang melebihi cap atau batas maksimal.

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022