Kuasa hukum Mardani, Denny Indrayana, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, menanyakan pendapat pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu tentang ketentuan Pasal 50 UU KPK.
"Saudara ahli, bagaimana pendapatnya terkait ketentuan norma Pasal 50 UU KPK, apakah KPK berwenang melakukan proses penyelidikan dan penyidikan ketika lembaga penegak hukum lain sedang melakukan proses penyidikan-penyidikan dalam perkara dengan peristiwa hukum yang sama, tapi mungkin tersangkanya berbeda?" ujar Denny.
Baca juga: KPK hadirkan dua ahli dalam sidang praperadilan Mardani Maming
Baca juga: Denny Indrayana yakini kasus Mardani H. Maming bukan penyuapan
Menurut Widiarto, berlandaskan Pasal 50 UU KPK, dalam penyidikan tindak pidana korupsi, penegak hukum yang terdiri atas KPK, kepolisian, dan kejaksaan harus selalu berkoordinasi terkait pengambilalihan perkara.
Lebih lanjut, Widiarto mengatakan terdapat tiga ayat yang digunakan dalam Pasal 50 UU KPK. Dia menafsirkan apabila KPK sudah melakukan penyidikan perkara maka perkara yang sama tidak bisa disidik oleh kejaksaan atau kepolisian.
"Dalam hal apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan maka kejaksaan atau kepolisian tidak berwenang lagi," kata Widiarto.
Pengambilalihan perkara juga harus dengan bukti tertulis. Hal ini terkait dengan asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas kepastian hukum dan asas kecermatan.
"Tidak mungkin suatu tindakan pemerintahan tidak tertulis, itu mengandung kepastian hukum, juga mengandung kecermatan," ujar Widiarto.
Kesaksian Widiarto dalam sidang praperadilan terkait dengan gugatan Mardani H Maming yang mengklaim bahwa KPK tidak berwenang terhadap perkara dugaan korupsi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Tim kuasa hukum Mardani beralasan bahwa perkara yang sama masih dalam proses penanganan Kejaksaan Agung.
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2022