"Yang seharusnya perencanaan tidak melalui perkebunan, kawasan industri, tapi ternyata lewat perkebunan yang punya lahan, biaya pembebasan lahannya mahal," kata Rizal saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Selain pembengkakan biaya akibat pembebasan lahan, menurut Rizal, pembengkakan lainnya diakibatkan bahan baku material hingga pembiayaan tenaga kerja yang tidak terestimasi di awal.
"Dalam perencanaan awal hingga pembiayaan pada saat realisasi pembangunan banyak yang tidak sesuai estimasi, seperti bahan bangunan, baja, semen dan tenaga kerja," katanya.
Baca juga: Pemerintah optimistis Kereta Cepat Jakarta-Bandung beroperasi 2023
Segala permasalahan tersebut, lanjut dia, bisa membuat pemerintah harus mengambil langkah pendanaan yang sesuai dengan kalkulasi, terutama bila Bank Pembangunan China tidak mau menanggung cost overrun.
Ia juga memperkirakan adanya kemungkinan tambahan biaya yang harus keluar untuk pemeliharaan dan penggunaan kereta cepat ini kedepannya, yang berpotensi menimbulkan masalah pendanaan baru.
"Persoalan maintanance, ini justru kembali lagi ke konsorsium, PT KAI atau BUMN, untuk meng-create daya tambah pendapatan dari KCJB ini," katanya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo tetap optimistis KCJB bisa beroperasi pada 2023.
Wahyu mengatakan pemerintah masih membahas besaran pembengkakan biaya pembangunan KCJB dan permintaan penanggungan kelebihan biaya tersebut sedang dihitung oleh Kementerian Keuangan.
Baca juga: Masinis KA cepat harus pengalaman jalankan hingga 100.000 kilometer
Baca juga: Kemajuan proyek kereta cepat penting bagi hubungan diplomatik RI-China
Pewarta: Soni Namura
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022