Peneliti Bidang Ekonomi TII Nuri Resti Chayyani mengatakan penetapan NIK sebagai NPWP dapat menguntungkan bagi negara maupun masyarakat karena memudahkan dalam akses layanan pajak. Namun bagi masyarakat, dapat menambah beban karena akan berisiko terhadap keamanan data pribadi.
“Penyatuan data memudahkan administrasi kebijakan Satu Data Indonesia menjadi efektif dan efisien. Namun, hal ini harus dibarengi dengan peraturan keamanan data bagi masyarakat agar penghimpunan pendapatan negara dari pajak penghasilan dapat berjalan maksimal,” ujar Nuri dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.
Sebagaimana diketahui, penerimaan pendapatan negara dari pajak pada bulan Juni 2022 sudah mencapai Rp868,3 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terealisasi Rp281 triliun, serta dari kepabeanan dan cukai Rp167,6 triliun. Angka realisasi tersebut mengalami peningkatan dibandingkan bulan Juni 2021.
Dengan adanya integrasi data NIK, Nuri berharap akan ada peningkatan penerimaan negara dari pajak, khususnya pajak penghasilan (PPh). Hal tersebut dikarenakan data yang secara bertahap terintegrasi dan layanan pajak semakin dirasakan oleh para wajib pajak.
Baca juga: Dirjen Dukcapil: Integrasi NIK dan NPWP untuk menyejahterakan bangsa
Di sisi lain, pengintegrasian data masih dibayangi oleh permasalahan perlindungan data. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya NIK sebagai NPWP dibutuhkan payung hukum untuk meningkatkan kepercayaan publik, seperti pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).
Selain isu perlindungan data, ia berpendapat pemerintah juga perlu merunut kembali data-data masyarakat yang berhak menikmati hasil pajak negara, seperti penataan ulang subsidi dan bantuan sosial.
"Dengan demikian tidak hanya pajak yang dihimpun secara efektif, tetapi juga ketepatan sasaran untuk kesejahteraan masyarakat perlu dimaksimalkan,” ungkapnya.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022