Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meminta setiap keluarga untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan guna mencegah meningkatnya angka kematian ibu (AKI).
“Kehamilan tidak diinginkan akan berdampak luas, tidak saja terhadap para ibu dan perempuan yang mengalaminya, tetapi juga terhadap pembangunan sumber daya manusia,” kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto dalam peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 di Ciawi, Jawa Barat, Jumat.
Boni menuturkan penyebab kehamilan yang tidak diinginkan terbagi dalam dua kelompok. Pada pasangan usia subur (PUS), hal itu terjadi karena tidak disegerakannya memakai alat kontrasepsi setelah melahirkan ataupun kehamilan akibat 4T (terlalu muda hamil, jarak kehamilan terlalu dekat, punya anak terlalu banyak, dan terlalu tua hamil).
Baca juga: UNFPA: 60 persen kehamilan tak direncanakan berujung aborsi
Kehamilan tak diinginkan juga bisa terjadi karena PUS kesulitan mendapatkan akses pelayanan saat bencana atau tidak ber-KB karena takut pada efek samping dan komplikasi penggunaan kontrasepsi.
Sedangkan pada remaja, kehamilan tidak diinginkan banyak terjadi karena budaya perkawinan anak, minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi serta seks bebas.
Dalam data Guttmacher Institute yang dikutip dalam Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 milik UNFPA yang diresmikan Jumat (29/7), antara tahun 2015-2019, 40 persen kehamilan tidak diinginkan atau tidak direncanakan.
Sedangkan menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), dari 200 juta kehamilan per tahun yang terjadi di Indonesia, 75 juta diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan.
Boni membeberkan data status perencanaan kelahiran hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak tujuh persen wanita usia 15-49 tahun, tidak menginginkan kelahiran anak. Sementara delapan persen lahir pada waktu yang tidak tepat atau tidak diinginkan.
“Alasan kehamilan yang tidak diinginkan beragam, mulai dari sudah memiliki jumlah anak yang banyak atau dirasakan cukup, istri masih dalam kontrak kerja, suami tidak mendukung istri menggunakan kontrasepsi, umur istri sudah terlalu tua, indikasi masalah medis, jarak anak terlalu dekat sampai kesanggupan untuk menghidupi banyak anak,” ujar dia.
Baca juga: UNFPA: 121 juta kehamilan tak direncanakan terjadi di dunia per tahun
Baca juga: BKKBN: Pernikahan dini tingkatkan angka kematian ibu dan bayi
Boni menyatakan kondisi tersebut sangat berbahaya, karena sebagian perempuan yang mengalaminya mengambil keputusan untuk melakukan aborsi yang tidak aman, sehingga berdampak pada kematian ibu dan anak, anemia pada ibu hamil, malnutrisi, bayi lahir prematur, stunting hingga munculnya rasa depresi.
Oleh karena itu, Boni mengajak semua pihak untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan guna mencegah kematian ibu. Hak-hak reproduksi terkait pengambilan keputusan kehamilan harus disesuaikan sesuai kondisi ibu guna merencanakan generasi unggul.
“Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bertindak guna mencegah dan mengatasi krisis kehamilan yang tidak diinginkan. Ini bukanlah masalah kesehatan yang terisolasi, tetapi simbol dari ketidakadilan yang meluas dalam hak dan status perempuan di seluruh dunia,” ujar Boni.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022