Tidak banyak orang menyadari, sesungguhnya kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia di berbagai daerah, sebenarnya merupakan sumber kekayaan yang dapat bisa menjadi modal besar untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Bahkan dapat dikatakan, antara aspek ketahanan pangan dengan faktor kearifan lokal merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Mengapa demikian? Seperti diketahui, setiap daerah umumnya memiliki tradisi yang berkaitan dengan pengelolaan pangan, mulai dari cara memenuhi persediaan sampai dengan konsumsi. Tradisi yang merupakan bagian dari kearifan lokal menjadi salah satu strategi dalam menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun.
Keberlangsungan tradisi dapat terlihat dari nilai-nilai yang menjadi landasan bagi kelompok masyarakat dan tercermin pada perilaku sehari-hari.
Salah satu penerapan kearifan lokal ada dalam ciri khas bidang pertanian untuk pengelolaan tanaman pangan di beragam daerah. Hal ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal dapat berkontribusi bagi ketahanan pangan Indonesia.
Di Indonesia, dapat dikatakan bahwa setidaknya terdapat tujuh jenis pangan alternatif pengganti beras yang akan bisa dikembangkan yaitu jagung, singkong, talas, kentang, pisang, porang dan sagu.
Dengan melakukan pemanfaatan pangan lokal seperti yang dicontohkan di atas, maka hal itu dapat dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan pangan pokok sumber karbohidrat dengan berbagai bentuk olahannya yang dapat disandingkan dengan beras/nasi, yang berbahan baku sumber pangan lokal.
Untuk itu, perlu adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran dari berbagai kalangan masyarakat untuk kembali pada pola konsumsi pangan pokok selain beras.
Sejumlah langkah yang dapat dilakukan antara lain adalah melakukan sosialisasi serta promosi diversifikasi pangan nonberas yang mesti digalakkan di tengah-tengah masyarakat.
Executive Director Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan bahan pangan alternatif seperti singkong dan sagu belum bisa sepenuhnya menggantikan gandum di Indonesia.
Namun, setelah melihat harga gandum kurang stabil di pasar global, maka mau tidak mau suka tidak suka, Indonesia tentu harus dapat betul-betul memberdayakan pangan lokal.
Salah satu contohnya adalah singkong, yang merupakan salah satu jenis pangan lokal yang cukup dapat di tanam di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti diketahui, singkong dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satunya mie instan yang menggunakan bahan dasar singkong mulai dipasarkan di dalam negeri.
Sejumlah pihak seperti Wakil Ketua DPR RI Koordinasi Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel mendukung inovasi mie berbahan singkong di tengah ancaman ketersediaan pangan dunia, terutama gandum.
Munculnya produk mie instan berbahan singkong dapat membantu petani dan perlahan-lahan mengajak masyarakat mengkonsumsi makanan berbahan selain beras.
Oleh karena itu, wajar bila langkah inovasi seperti ini patut disambut dengan baik, apalagi dipromosikan sebagai mie instan yang relatif lebih sehat.
Baca juga: Pakar ingatkan waspadai perubahan pola konsumsi beras ke gandum
Perilaku konsumsi
Selain itu, gerakan diversifikasi pangan dinilai akan efektif pula jika didukung ketersediaan aneka ragam bahan pangan melalui pengembangan usaha pangan lokal dan perilaku masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi aneka ragam pangan.
Hal tersebut acap kali suka terhambat, antara lain dengan adanya stigma atau kalimat yang banyak terdapat dalam benak banyak orang Indonesia seperti "belum makan kalau belum makan nasi. Tentu saja stigma seperti ini perlu diubah perlahan-lahan.
Karenanya, pengembangan pangan lokal dan upaya memperbanyak keragaman dalam pola makan masyarakat, sebaiknya dikemas dengan mekanisme efektif berbasis kesisteman.
Dengan kata lain, berbagai pihak terkait juga harus bisa benar-benar bersinergi karena hasilnya tidak optimal ketika berjalan masing-masing tanpa sistem pendukung.
Contoh gerakan memperbanyak pangan lokal seperti tanaman porang yang mulai banyak ditanam di Kabupaten Madiun dan sekitarnya, untuk dipanen sekitar 7-8 bulan.
Porang sendiri memiliki beragam kegunaan atau fungsi, seperti dapat diolah menjadi lem pesawat terbang, beras Shirataki Jepang, atau Mie Jepang.
Berbagai komoditas tersebut juga dapat menjadi barang untuk tujuan ekspor, sehingga keanekaragaman pangan lokal juga sebenarnya bisa menjadi sebagai sumber penghasil dan pendapatan bagi petani dan negara.
Indonesia, yang terpilih untuk memegang Presidensi G20 pada tahun 2022 ini, sebenarnya juga memiliki momentum untuk mengarahkan penyelenggaraan G20 sebagai ajang untuk mempromosikan pangan lokal.
Apalagi, promosi keanakeragaman pangan lokal juga dapat menjadi daya tarik bagi delegasi dan wisatawan asing yang berkunjung ke berbagai daerah selama penyelenggaraan G20 tahun ini.
Misalnya, delegasi G20 asal Belanda Bart Van Horck, di sela-sela Pertemuan Ketiga Kelompok Kerja Ekonomi Digital atau 3rd Meeting Digital Economy Working Group (DEWG) yang digelar di Labuan Bajo pada 20-22 Juli 2022, mengaku sajian kuliner atau makanan khas dari NTT dan dari daerah lainnya dari seluruh Nusantara, membuat dirinya dan para delegasi lainnya bisa merasakan cita rasa yang berbeda.
Bart menyatakan bahwa bagi dirinya dan juga pihak delegasi, hal tersebut merupakan pengalaman yang tidak terlupakan baginya. Tentu saja, promosi yang dilakukan dalam acara sekelas G20 menjadi bentuk dukungan pemerintah terhadap pangan lokal.
Upaya menanamkan kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat perlu terus digalakkan. Semangat melaksanakan gerakan dalam program Pemerintah sebetulnya sudah ditempuh, yakni lewat Perpres No. 22 Tahun 2009. Regulasi ini berjudul Gerakan Percepatan Penganekaragaman Pangan berbasis Sumber Daya Lokal.
Diharapkan dengan adanya kesadaran dari berbagai pihak terkait, maka upaya keanekaragaman pangan lokal ke depannya dapat terwujud dengan baik sehingga Indonesia ke depannya juga tidak lagi tergantung kepada satu bahan pangan pokok tertentu.
Baca juga: Guru Besar IPB sebut kondisi pangan Indonesia aman di 2022
Pewarta: Chairul Fajri
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022