Sebagaimana argumentasi KPU ke publik, Alwan menyepakati bahwa kenaikan anggaran Pemilu 2024 yang naik dua hingga tiga kali lipat dibandingkan Pemilu 2019 tersebut dialokasikan guna meningkatkan kualitas dan mendukung anggaran kebutuhan penyelenggara ad hoc.
“Kenaikan anggaran KPU itu lebih besar karena ingin meningkatkan kualitas dan anggaran terutama gaji pelaksana ad hoc kita. Saya kira saya sepakat soal itu karena memang sudah sewajarnya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kita dinaikkan, maka juga anggarannya harus dinaikkan,” ujar Alwan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PARA Syndicate secara hybrid bertajuk "Anggaran Pemilu Seret, Akankah Tunda Pemilu Lagi?”, yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPU berharap realisasi anggaran 2022 untuk pemilu masih bisa direvisi
Menurutnya, pelaksanaan pemilu sejatinya berlangsung di level TPS, sudah sepatutnya anggaran gaji pelaksana ad hoc dinaikkan guna memastikan kualitas pelaksanaan pemilu di level TPS berjalan maksimal karena mereka memikul beban kerja yang tidak ringan.
“Sesungguhnya pelaksanaan pemilu itu ada pada level TPS, ada pada level desa, di mana kampanye dilakukan, di mana TPS berada, di mana pemilih berada, sesungguhnya ada di level TPS, mustinya penyelenggara ad hoc gajinya lebih besar,” kata Alwan.
“Ini satu sisi kita ingin mengatakan bahwa penyelenggara ad hoc kita juga sudah dimanusiakan,” sambungnya.
Baca juga: Kode Inisiatif: Jelaskan alokasi anggaran pemilu cegah misinformasi
Berkaca pada fenomena pemilu serentak 2019 lalu, Alwan mengatakan beban kerja pelaksana ad hoc tidak linear dengan upah yang diterima sehingga memicu jatuhnya korban jiwa.
“Upah yang mereka terima hanya 500 ribu pada saat itu, kalau kita bandingkan dengan pengawas TPSnya Bawaslu itu sudah 700 atau 800 ribu kalau tidak salah, kondisi ini berbanding terbalik dengan upah-upah yang diterima oleh para saksi-saksi partai atau pasangan calon,” jelas Alwan.
Di samping untuk kebutuhan penyelenggara ad hoc, menurut Alwan anggaran pemilu terbesar juga berada pada pos distribusi dan alokasi logistik, serta pos sosialisasi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), penyelenggara ad hoc terdiri dari tiga kelompok, yakni Panitia Pemungutan Suara Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Baca juga: Komisi II DPR: anggaran Pemilu 2024 pertimbangkan honor petugas
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022