Para pejabat termasuk sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan tentang perlombaan senjata baru setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, dan tak lama setelah itu, Presiden Rusia Vladimir Putin secara tidak langsung mengisyaratkan kemungkinan serangan nuklir. Konflik tersebut juga meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan pembangkit nuklir Ukraina.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bergabung dengan ribuan orang yang memadati Taman Perdamaian di pusat kota untuk memperingati ulang tahun pengeboman yang menewaskan 140.000 orang sebelum akhir 1945. Kehadiran Guterres itu adalah kedua kalinya seorang sekretaris jenderal PBB ambil bagian dalam upacara tahunan tersebut.
"Senjata nuklir adalah omong kosong. Senjata itu tidak menjamin keselamatan--hanya kematian dan kehancuran," kata Guterres.
"Tiga perempat abad kemudian, kita harus bertanya apa yang telah kita pelajari dari awan jamur yang membumbung di atas kota ini pada 1945."
Guterres menghindari penyebutan langsung Rusia, yang mengklaim invasi ke Ukraina sebagai "operasi militer khusus."
Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui, yang tahun ini tidak mengundang duta besar Rusia ke upacara tersebut, memperlihatkan sikapnya yang kritis terhadap tindakan militer Moskow di Ukraina.
"Dalam menginvasi Ukraina, pemimpin Rusia, yang dipilih untuk melindungi kehidupan dan harta benda rakyatnya, menggunakan mereka sebagai alat perang, menghilangkan nyawa dan mata pencaharian warga sipil di negara lain," kata Matsui.
"Di seluruh dunia, gagasan bahwa perdamaian bergantung pada strategi deterensi nuklir mendapatkan momentum," tambah Matsui.
"Kesalahan ini mengkhianati tekad kemanusiaan, yang lahir dari pengalaman perang kita, untuk mencapai dunia damai yang bebas dari senjata nuklir. Menerima status quo ( bahwa perdamaian tergantung pada strategi deterensi nuklir) dan meninggalkan cita-cita perdamaian yang dipertahankan tanpa kekuatan militer sama dengan mengancam kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri."
Pukul 8.15 pada 6 Agustus 1945, pesawat tempur B-29 AS Enola Gay menjatuhkan bom yang dijuluki "Little Boy" dan melenyapkan kota dengan perkiraan populasi 350.000 jiwa. Ribuan warga meninggal kemudian karena cedera dan penyakit terkait radiasi.
Pada Sabtu di musim panas, Lonceng Perdamaian berbunyi dan kerumunan orang, termasuk Perdana Menteri Fumio Kishida, yang berasal dari Hiroshima, mengheningkan cipta pada saat yang pas ketika bom meledak.
"Pada awal tahun ini, lima negara pemilik senjata nuklir mengeluarkan pernyataan bersama: 'Perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dikobarkan,'" tambah Matsui.
"Mengapa mereka tidak berusaha memenuhi janji mereka? Mengapa beberapa bahkan mengisyaratkan penggunaan senjata nuklir?"
Pada Kamis, duta besar Rusia untuk Jepang Mikhail Galuzin menaruh bunga di sebuah batu peringatan di taman dan mengatakan kepada wartawan bahwa negaranya tidak akan pernah menggunakan senjata nuklir.
Kishida, yang telah memilih Hiroshima sebagai tempat KTT Kelompok Tujuh tahun depan, meminta dunia untuk meninggalkan senjata nuklir.
Awal pekan ini, dia menjadi pemimpin Jepang pertama yang ambil bagian dalam Konferensi Peninjauan Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) oleh Para Pihak.
"Kami akan terus menuju cita-cita perlucutan senjata nuklir bahkan dengan lingkungan keamanan yang sulit saat ini," katanya.
Bencana Hiroshima diikuti oleh penjatuhan bom atom militer AS di Nagasaki pada 9 Agustus, yang langsung menewaskan lebih dari 75.000 orang.
Jepang menyerah enam hari kemudian, mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Sumber: Reuters
Baca juga: Profesor Jepang berupaya hilangkan "mitos" bom atom Amerika
Baca juga: Peran dalam perang Jepang jadikan Hiroshima, Nagasaki target bom atom
Baca juga: IOC tolak permintaan peringatan khusus peristiwa bom atom Hiroshima
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022