"Dasar dari riset ini yang pertama adalah bagaimana keseimbangan besi di dalam tubuh dikontrol melalui penyerapan," kata perekayasa ahli utama Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Noer Laily dalam Webinar Talk to Scientists Riset dan Inovasi untuk Kedaulatan Pangan dan Energi yang diikuti secara virtual di Jakarta, Selasa.
Ia menuturkan 90 persen kebutuhan besi dalam tubuh berasal dari luar, sehingga terjadi kehilangan besi, terutama saat menstruasi, kehamilan, dan pertumbuhan pada bayi, anak, serta remaja. Untuk itu, diperlukan penambahan zat besi dari asupan makanan.
Lebih dari 50 persen kasus anemia disebabkan rendahnya ketersediaan dari zat besi yang dikonsumsi. Remaja perempuan yang menderita anemia berisiko melahirkan bayi dengan kekerdilan.
Baca juga: BRIN: Indonesia perkuat riset untuk kedaulatan pangan dan energi
Stunting merupakan gagal pertumbuhan pada bayi atau anak di mana tinggi badan terlalu rendah atau tidak sesuai dengan perbandingan usia.
"Hidrolisat kedelai ini merupakan ingredient (bahan/unsur) yang bisa diformulasikan ke dalam berbagai macam produk untuk mencegah malnutrisi, mencegah anemia dan stunting," ujarnya.
Hidrolisat kedelai yang mengandung biopeptida dengan berat molekul <20 kilodalton (kd) diproses melalui teknologi termal menggunakan alat steam blasting dan proses enzimatis menggunakan enzim protease.
"Kami sudah mendapatkan teknologi bagaimana memproduksi hidrolisat kedelai," tutur Noer.
Biopeptida tersebut dapat meningkatkan absorbsi zat besi dengan menjaga zat besi tetap larut, mereduksi ion feri menjadi fero dan meningkatkan transportasi zat besi melalui membran.
Baca juga: BRIN: Teknologi pengemasan tingkatkan nilai tambah makanan tradisional
Baca juga: BRIN: Peningkatan adopsi padi hibrida dukung ketahanan pangan nasional
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022