Bahkan, menurut dia, pengembangan "startup" ini sejalan dengan program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkuat ekosistem digital dalam upaya mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagai tulang punggung ekonomi.
"Belum lama melewati pandemi, kekuatan dan keberlanjutan 'startup' di sini diuji dengan bocornya 'startup bubble' di dunia. Fenomena ini ditandai dengan beberapa 'startup' yang secara serentak merumahkan karyawan dalam jumlah yang besar," kata Eddi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Eddi menduga bocornya gelembung (bubble) ini akibat ketergantungan perusahaan "startup"
kepada pendanaan dari penyerta modal (venture capitalist).
Efisiensi melalui pengurangan karyawan ini terpaksa dilakukan saat investor melakukan pengetatan kucuran dana.
"Para 'startup' yang belum mencetak profit perlu melakukan ini karena mereka perlu memperpanjang masa bertahan untuk berupaya mencetak pendapatan,” kata Eddi dalam diskusi media.
Baca juga: Akademisi: Startup harus kuasai teknologi baru
Populasi "startup" di DKI Jakarta dan kota besar lain di Indonesia berdasarkan data tahun 2022 mencapai 2.346 atau nomor lima terbesar dunia.
Sektor yang digarap juga beragam, namun yang paling diminati, yakni transportasi, keuangan, pendidikan, kesehatan dan beberapa lainnya yang semuanya berbasis daring.
Menurut riset yang dilakukan oleh Google, Temasek dan Bain&Co di tahun 2019, Indonesia menjadi negara dengan "startup" penerima pembiayaan terbanyak dibanding negara lain.
Angka pendanaan ini diperkirakan akan tetap menjadi yang paling tinggi di tahun 2025. Dengan kondisi tersebut, ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 memiliki ukuran lebih dari empat kali lipat sejak 2015 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 49 persen per tahun.
Nilainya diperkirakan mencapai 40 miliar dolar AS. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbaik di Asia Tenggara pada tahun 2019.
Eddi menambahkan, penting bagi banyak pihak mulai dari pemilik "startup", pemilik modal, hingga pemerintah, untuk memberikan edukasi untuk membangun "startup" yang sehat baik secara keuangan maupun manajemen.
" Dengan 'startup' yang sehat, kita juga dapat memaksimalkan potensi dan membangun ekosistem digital Indonesia yang kuat. Tak hanya itu, saat semua pihak telah berupaya menciptakan 'healthy startup', kita dapat mencegah terjadinya krisis keuangan di skala nasional," tutur Eddi.
Baca juga: Jakarta masuk jajaran 30 kota teratas dengan ekosistem rintisan global
Hal senada disampaikan oleh Aqsath Rasyid sebagai CEO NoLimit Indonesia, "startup" teknologi yang berfokus untuk monitoring dan analisis media daring dengan menggunakan teknologi bigdata.
Dia mengatakan "startup" sehat tidak hanya terfokus pada modal atau investasi yang besar yang berasal dari pihak luar perusahaan.
"Semua 'startup' bisa memulai menjalankan roda perusahaan dengan modal apa yang dimiliki. Yang terpenting adalah, 'startup' itu mempunyai konsistensi dan ketahanan dalam menghadapi tantangan," tutur Aqsath.
“Kami berkiprah sebagai 'startup' tanpa modal dari eksternal (bootstrapping) dan tumbuh dan berkembang sangat organik. Dengan memanfaatkan modal internal, kami masih tetap menjadi 'startup' yang sehat dan eksis sampai sekarang”, kata Aqsath.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2022