Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendukung terapi proton sebagai terapi medis berbasis iradiasi yang memanfaatkan teknologi nuklir di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Siwabessy di Pasar Jumat, DKI Jakarta, yang lebih terjangkau bagi penderita kanker.Ini bisa dipakai oleh pasien dari rujukan manapun dari seluruh Indonesia
"Kita desain fasilitas di Pasar Jumat itu harus menjadi fasilitas sharing resources (berbagi sumber daya) jadi seperti klinik PCR. Rumah sakit manapun sebenarnya tidak perlu punya klinik PCR kan, kalau dia punya pasti mahal," kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-27 dengan tema Riset dan Inovasi untuk Kedaulatan Pangan dan Energi di KST Soekarno di Cibinong, Jawa Barat, Rabu.
KST Siwabessy diresmikan pada peringatan Hakteknas ke-27 dan difokuskan untuk penyediaan fasilitas bagi industri sterilisasi baik pangan maupun alat kesehatan, penyediaan produk radiofarmaka, serta terapi medis berbasis iradiasi seperti terapi proton untuk penderita kanker.
Dibandingkan dengan metode-metode pengobatan lain, seperti kemoterapi atau bahkan operasi pengangkatan kanker, terapi proton jauh lebih aman dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien selama terapi radiasi dijalankan.
Baca juga: BRIN: Kombinasikan kewirausahaan-inovasi wujudkan Indonesia maju
Pengobatan dengan terapi proton membantu dokter mengobati hanya sel kanker dan tidak menambah risiko rusaknya sel-sel sehat.
Terapi proton akan merusak susunan DNA dan material-material genetik pada sel-sel kanker sehingga sel kanker rusak dan tidak bisa membelah dan menyebar.
Karena biaya pembangunan fasilitas terapi proton relatif sangat mahal, sehingga tidak banyak institusi yang memiliki fasilitas itu.
Handoko menuturkan pembangunan fasilitas terapi proton memerlukan investasi hampir Rp1 triliun sehingga itu akan sulit jika setiap rumah sakit di Indonesia harus memilikinya.
Baca juga: BRIN resmikan empat kawasan sains dan teknologi nasional
Sementara untuk mendapatkan terapi proton, seorang pasien kanker bisa menghabiskan Rp1 miliar. Itu tentu akan memberatkan bagi pasien, dan tidak banyak pasien bisa menjangkau layanan terapi proton dengan biaya yang besar itu.
"Satu pasien terapinya bisa Rp1 miliar, sehingga itu tentu tidak masuk akal kecuali orang-orang yang memang "berpunya" (punya dana yang besar)," ujarnya.
Berangkat dari kebutuhan terapi proton untuk membantu penderita kanker dengan akses layanan jauh lebih murah, maka BRIN mendorong agar fasilitas nuklir KST Siwabessy dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas terapi proton.
Baca juga: BRIN buat bubur beras dan biskuit bergizi untuk balita cegah stunting
"Ini bisa dipakai oleh pasien dari rujukan manapun dari seluruh Indonesia, dan itu bisa bahkan menjadi di bawah Rp100 juta sehingga BPJS bisa masuk. Kalau BPJS bisa masuk bisa menambah lagi pemakaiannya atau tingkat utilisasinya sehingga bahkan bisa di bawah Rp50 juta," tuturnya.
Ia mengatakan model bisnis untuk optimalisasi pemanfaatan fasilitas nuklir untuk terapi proton tersebut akan ditawarkan BRIN kepada pihak swasta sehingga tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk itu, Handoko mengajak pihak swasta menjadi mitra untuk bersama-sama mengoperasikan fasilitas tersebut.
"Itu sebabnya ini kita rencanakan akan kita lakukan mulai tahun depan," ujarnya.
Baca juga: BRIN: Indonesia perkuat riset untuk kedaulatan pangan dan energi
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022