"Pertama, demokratisasi, kedua dekolonisasi, KUHP nasional dan terakhir konsolidasi," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Jumat.
Wamenkumham mengatakan KUHP yang ada saat ini bernuansa kolonial. Hal tersebut tercermin dalam beberapa pasal pada buku satu dan buku dua KUHP yang kini masih berlaku.
Dilihat dari buku satu, KUHP mengutamakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Dengan kata lain, keadilan yang berlaku ialah keadilan retributif dengan pidana penjara, pidana mati dan pidana denda.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan draf RKUHP yang diserahkan oleh pemerintah pada DPR pada 6 Juli 2022. Dalam RKUHP tersebut, meskipun pidana penjara masih jadi pidana pokok, namun tidak menjadi pidana utama.
"Jadi, meskipun dia pidana pokok tapi bukan yang utama," ujar Prof Eddy.
Baca juga: Komnas HAM: Semangat RKUHP harus melindungi bukan menghukum
Baca juga: Kemenkumham: Pasal penggelandangan RKUHP akan diatur Perda
Alasannya, dalam rangka menyesuaikan dengan paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi berorientasi pada aspek retributif atau balas dendam, tapi lebih kepada keadilan korektif.
"Artinya lebih kepada keadilan korektif, restoratif dan keadilan rehabilitatif," tutur dia.
Sederhana-nya, draf RKUHP yang ada saat ini tidak hanya menghukum pelaku kejahatan tetapi juga berupaya memperbaikinya. Begitu juga dengan korban tidak hanya dipulihkan tetapi juga direhabilitasi.
Ia mengatakan dalam RUU KUHP pidana tidak mesti berupa sanksi, tindakan juga dikualifikasikan sebagai pidana. Dengan kata lain, pidana terbagi dua yakni tindakan dan sanksi.
Baca juga: Komisi III bantah tidak terbuka terkait draf RKUHP
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada semua pihak agar tidak mengartikan kata pidana langsung mengarah pada sanksi apalagi penjara.
"Pidana di sini bisa berupa sanksi atau tindakan," ujarnya.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022