Untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumah tangga dan industri yang mencapai 3,2 juta ton per tahun itu tidak mudah, namun harus terus menerus diupayakan dan dicari solusinya agar Indonesia mampu "berdiri" untuk memenuhi kebutuhan "rumah tangganya", tidak bergantung pasokan dari negara lain alias impor.
Secara perlahan dan bertahap Pemerintah Indonesia melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) yang berkolaborasi dengan pabrik gula, baik milik BUMN maupun swasta terus bergerak bahu membahu mencari solusi untuk memutus mata rantai impor dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggerakkan swasembada, khususnya gula.
Swasembada gula, termasuk komoditas pangan lainnya, seperti beras dan kedelai, bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, apalagi semua komponen dan pemangku kepentingan bersama masyarakat bergerak bersama-sama, berkolaborasi saling mengisi demi ketahanan pangan nasional.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dengan dukungan industri (pabrik) gula yang ada di belahan Nusantara adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan gula nasional yang selama ini masih mengandalkan pasokan gula dari luar negeri (impor), bahkan negeri ini mengalami defisit 850 ribu ton per tahun.
Kebutuhan gula nasional yang mencapai 3,2 juta ton per tahun, mustahil hanya mengandalkan bahan baku (tebu) dengan luas tanam yang ada sekarang. Untuk memenuhi target produksi gula agar mampu berswasembada, paling tidak dibutuhkan sekitar 700 ribu hektare lagi untuk lahan tanaman tebu.
Hanya saja, lokasi untuk kebutuhan lahan tanaman tebu seluas 700 ribu hektare dalam mendukung pasokan bahan baku gula itu masih dalam kajian, belum ditentukan secara rinci, di daerah mana. Apakah di wilayah Pulau Jawa atau di luar Jawa.
Demikian juga dengan pendanaan, saat ini masih dihitung berapa besarannya, termasuk sumber pendanaannya. Ada kemungkinan dilakukan secara campuran melalui penanaman modal dalam negara (PMDN) dan kredit dari perbankan. Namun, diprioritaskan pendanaan dari pabrik gula-pabrik gula BUMN.
Untuk mempercepat capaian luas lahan tanaman tebu maupun swasembada gula itu, ID FOOD bersama sejumlah perusahaan BUMN lainnya juga berkolaborasi membentuk ekosistem pertanian yang sama dengan mitra petani melalui Program Makmur di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Petani dalam Program Makmur mendapatkan pendampingan dan dukungan pupuk, alat pestisida, pendanaan serta asuransi dari sejumlah perusahaan BUMN. Langkah ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani tebu.
Program Makmur bisa membantu peningkatan produktivitas sejumlah komoditas termasuk tebu di Kabupaten Malang. Saat ini potensi lahan tebu di Kabupaten Malang sekitar 40 ribu hektare yang memasok bahan baku dua pabrik gula yang ada di daerah itu, yakni PG Kebon Agung dan PG Krebet Baru.
Selain memperluas lahan tanaman tebu hingga 700 ribu hektare, juga perlu dukungan peraturan berupa Perpres. Untuk mendukung lahirnya Perpres tersebut, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) saat ini tengah mempersiapkan peraturan itu di bawah koordinasi Menko Perekonomian.
Perpres itu penting untuk mempertegas terkait target swasembada produksi gula pada 2025. Badan Pangan Nasional juga berkomitmen terus memperkuat industri gula nasional dengan membangun tata kelola gula nasional melalui regulasi yang tepat dan kolaborasi dengan asosiasi dan pelaku usaha.
Melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2021, Badan Pangan Nasional diberikan kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan, seperti stabilisasi harga dan distribusi pangan, penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan, besaran jumlah cadangan pangan pemerintah, serta harga pembelian pemerintah.
Kewenangan ini menjadi pintu masuk bagi NFA untuk berperan aktif melakukan pembenahan tata kelola gula nasional secara in line melalui pola integrasi hulu-hilir yang solid. Salah satunya, dengan rumusan kebijakan penetapan harga acuan penjualan dan harga pembelian (HAP) tingkat petani.
Harga jual gula yang baik di tingkat petani dapat memotivasi petani untuk terus menanam tebu, sehingga suplai bahan baku tebu terjaga. Namun, yang menjadi tantangan utama industri gula nasional saat ini adalah keterbatasan bahan baku tebu. Tanpa suplai bahan baku yang memadai, pabrik tidak bisa beroperasi optimal, sehingga menimbulkan produktivitas yang rendah dan inefisiensi.
Saat ini harga pembelian gula kristal putih di tingkat petani Rp11.500/kg, penetapan tersebut berdasarkan keputusan bersama Badan Pangan Nasional dengan Kementerian Perdagangan melalui Surat Edaran No 6 Tahun 2022. Sedangkan harga acuan penjualan gula kemasan sebesar Rp13.500/kg, dan harga acuan penjualan gula kemasan di wilayah Indonesia Timur sebesar Rp14.500/kg.
Pembenahan tata kelola gula nasional tidak akan berjalan tanpa dukungan dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, khususnya kelompok asosiasi. Untuk komoditas gula, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menjadi mitra strategis dalam memberikan masukan kebijakan terkait gula nasional.
AGI bersama Badan Pangan Nasional Dapat berkolaborasi menjadi penghubung antarpemangku kepentingan guna merumuskan solusi bagi perbaikan industri gula nasional, mulai dari perumusan harga acuan hingga pembenahan on farm dan off farm.
Tingginya produksi gula saat swasembada gula pada 2025 dan kemungkinan meluber di pasaran sama sekali tidak membuat Badan Pangan Nasional/NFA khawatir, karena produksi gula tersebut, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor.
Selain itu, juga bisa mencari formula lembaga off taker yang dapat menyerap gula nasional jika peredarannya melebihi dari jumlah konsumsi. Yang pasti, swasembada gula penting dilakukan di tengah ancaman krisis pangan global.
Baca juga: Industri gula nasional masih bisa bangkit
Baca juga: NFA perluas lahan tebu perkuat industri gula nasional
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022