"BRIN terus melakukan riset dan inovasi dalam mendukung transisi energi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif yang ada di Indonesia," kata Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Haznan Abimanyu saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.
Sebagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2022 di Gedung MPR/DPR/DPD RI yang mengatakan bahwa selain hilirisasi, optimalisasi sumber energi bersih dan ekonomi hijau harus terus ditingkatkan.
Presiden Jokowi menuturkan energi bersih dari panas matahari, panas bumi, angin, ombak laut, dan energi bio, akan menarik industrialisasi penghasil produk-produk rendah emisi.
Baca juga: Menteri ESDM tekankan komitmen RI bertransisi menuju energi bersih
Lebih lanjut, Haznan mengatakan ketergantungan terhadap sumber energi yang berbahan bakar fosil berdampak pada perubahan iklim, sehingga energi bersih menjadi kebutuhan sangat mendesak dalam negeri dan secara global.
Untuk sektor industri, penelitian inovasi ekosistem pada sistem penangkapan dan penyimpanan karbon, hidrogen biru dan hidrogen hijau untuk industri petrokimia, dan bahan bakar nabati dalam hal bioenergi merupakan bagian penting dalam melindungi habitat makhluk hidup.
Di sektor transportasi, Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan alternatif bahan bakar ramah lingkungan. Untuk itu, BRIN sedang melakukan penelitian dan pengembangan bioetanol dan hidrogen sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati (BBN) yang penggunaannya dapat digunakan sebagai aditif dan pengganti atau blending untuk bensin. Selain itu, riset terkait hidrogren sebagai bahan bakar untuk transportasi sedang dikembangkan sebagai upaya untuk menekan emisi.
Pabrik percontohan produksi bioetanol generasi 2 (G2) BRIN yang dikembangkan telah memproduksi bioetanol hingga mencapai kemurnian lebih dari 99,6 persen.
Bahan baku bioetanol G2 yang digunakan adalah biomassa lignoselulosa dari limbah perkebunan sawit berupa tandan kosong sawit yang saat ini paling banyak jumlahnya, karena Indonesia merupakan penghasil minyak sawit nomor satu di dunia.
Baca juga: Aktivis: Negara maju bantu negara berkembang lakukan transisi energi
Penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak dapat mengurangi 70 hingga 90 persen emisi karbondioksida dibandingkan dengan bahan bakar minyak setara oktan 90.
Namun, penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar di dalam negeri masih menghadapi beberapa tantangan yang perlu diselesaikan, yaitu sifat fisik etanol, adanya komitmen tersedianya bahan baku dan pangkalan data serta neraca energi.
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN, Eniya Listiani Dewi mengatakan upaya penurunan emisi dari sektor transportasi, salah satunya dapat menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai dan berbasis gas hidrogen.
Penggunaan kendaraan berbahan bakar hidrogen lebih cocok digunakan untuk transportasi jarak jauh, karena kendaraan hidrogen bisa menempuh jarak yang cukup jauh dalam sekali pengisian bahan bakar.
Baca juga: Kemenperin-Kementerian ESDM perkuat industri hijau Indonesia
Baca juga: Presiden Jokowi ajak negara G7 investasi energi bersih di Indonesia
Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian bahan bakar hidrogen hanya sekitar kurang dari tiga menit, sama halnya seperti bahan bakar bensin. Kelemahannya, saat ini infrastruktur produksi hidrogen termasuk stasiun pengisian bahan bakar membutuhkan investasi yang tinggi.
Jika menggunakan kendaraan listrik, pengisian bahan bakar cukup lama, bahkan dengan stasiun pengisian kendaraan listrik (fast charging station) memakan waktu hingga 1,5 jam. Karena itu, kendaraan listrik lebih cocok digunakan untuk transportasi jarak dekat.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022