Badan PBB itu mengatakan penggunaan obat semacam itu, yang dikombinasikan dengan perawatan yang lebih baik, telah "merevolusi" obat bagi penyakit yang pernah dianggap hampir pasti akan membunuh penderitanya.
Obat - Inmazeb (REGN-EB3) Regeneron dan Ebanga (mAb114) Ridgeback Bio - menggunakan antibodi monoklonal buatan laboratorium yang mirip antibodi alami dalam memerangi infeksi.
"Progres dalam perawatan dan pengobatan yang mendukung selama satu dekade terakhir telah merevolusi pengobatan Ebola. Penyakit virus Ebola dulu dianggap bakal berujung dengan kematian. Namun, hal itu tak terjadi lagi," kata Robert Fowler.
Fowler adalah seorang profesor Universitas Toronto, Kanada, sekaligus salah satu ketua kelompok pengembangan panduan WHO.
Perawatan efektif dan penggunaan kedua obat tersebut kini mengarah pada penyembuhan "kebanyakan" penderita Ebola, katanya, tanpa menyajikan data yang spesifik.
Rekomendasi baru tersebut dikeluarkan menyusul uji coba obat demam berdarah di Republik Demokratik Kongo selama wabah 2018-2020 di sana.
Kepala unit manajemen klinis dalam Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Dr Janet Diaz, mengatakan kepada awak media bahwa kedua obat tersebut kini tersedia di Kongo, namun diperlukan upaya lebih untuk semakin mempermudah aksesnya.
"Jalur akses menjadi prioritas saat ini," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: WHO: Kasus ketiga Ebola dikonfirmasi di Kongo
Baca juga: Ebola muncul di Pantai Gading, kasus pertama dalam 25 tahun
Temukan kasus Ebola, Pantai Gading gelar vaksinasi bagi nakes
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022