• Beranda
  • Berita
  • Menjaring pendanaan EBT lewat skema "blended finance" di G20

Menjaring pendanaan EBT lewat skema "blended finance" di G20

22 Agustus 2022 12:29 WIB
Menjaring pendanaan EBT lewat skema "blended finance" di G20
Ilustrasi - Seorang bocah menggembalakan kerbau di area dekat Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/7/2022). (ANTARA FOTO/ARNAS PADDA)

Indonesia resmi memegang keketuaan atau Presidensi G20 sekaligus menjadi tuan rumah, sejak 1 Desember 2021 hingga November 2022 dengan mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Lebih Kuat”.

Presidensi G20 Indonesia telah menetapkan tiga isu prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi digital dan ekonomi.

Transisi energi menjadi krusial dan urgen untuk dilakukan demi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius pada 2050 sesuai Persetujuan Paris.

Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon mencapai 29 persen pada 2030 melalui pengurangan secara signifikan penggunaan energi atau bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil dan mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan.

Demi mendukung komitmen pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia telah menetapkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23 persen.

Studi dari Kementerian ESDM menyatakan bahwa potensi energi terbarukan yang besar adalah modal ketahanan energi nasional. Indonesia memiliki potensi pemanfaatan energi terbarukan sebesar 417,8 GW yang berasal dari samudera sebesar 17,9 GW, panas bumi sebesar 23,9 GW, bioenergi sebesar 32,6 GW, tenaga bayu sebesar 60,6 GW, tenaga hidro sebesar 75 GW serta tenaga surya sebesar 207,8 GW.

The Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) menyebut Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara, memiliki peluang besar untuk mendorong pengembangan investasi energi terbarukan, serta masuk dalam daftar 40 negara yang menarik untuk investasi energi terbarukan

Namun, mewujudkan transisi energi khususnya beralih ke energi non-fosil membutuhkan biaya yang tak sedikit. Laporan Mekanisme Pendanaan Investasi Energi Terbarukan oleh Bappenas dan GGGI menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan 167 miliar dolar AS untuk mencapai target bauran EBT dan mendukung pencapaian NDC.

Oleh karena itu, kecukupan finansial memiliki peran strategis dalam percepatan transisi energi. Pemerintah akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 di tahun 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan.

Pemerintah memiliki skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antarnegara maupun lembaga internasional. Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.

Baca juga: Capai nol emisi karbon, pemerintah harap PLTP gantikan energi fosil

Blended finance

Salah satu model pembiayaan tersebut adalah blended finance yang merupakan skema pembiayaan optimal dengan mengkombinasikan beberapa sumber pendanaan atau pembiayaan dalam satu proyek seperti dari anggaran pemerintah, pihak swasta dan donor.

Mengutip laman resmi KPBU Kemenkeu, blended finance diartikan sebagai sebuah struktur transaksi dalam mengoptimalkan pemanfaatan instrumen pembiayaan pembangunan (filantropi) untuk memobilisasi pembiayaan komersial (swasta).

Skema pembiayaan ini juga bisa mengurangi risiko bagi investor, meningkatkan likuiditas, membangun aset yang berkualitas dan selaras dengan pembangunan berkelanjutan, dan mengintegrasikan pihak swasta dan publik untuk kebaikan bersama.

Model pendanaan blended finance terdiri atas tiga dasar penting, yaitu development finance, additional finance, dan sustainable development. Development finance merupakan pembiayaan yang ditujukan untuk infrastruktur tanpa adanya pengembalian modal. Penyedia development finance ini biasanya adalah lembaga multilateral, seperti Bank Dunia, ADB, dan sebagainya.

Kemudian, additional finance yang merupakan pembiayaan yang berorientasi pada kepentingan komersial dan investor swasta, misalnya berupa ekuitas dan pinjaman. Additional finance menjadi tolak ukur pendanaan dari keberhasilan blended finance.

Sedangkan unsur terakhir suistainable development atau pembangunan berkelanjutan adalah tujuan utama dari blended finance. Penggunaan blended finance perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dengan struktur yang berbeda pada setiap pembangunan berkelanjutan, terlebih setiap pembangunan berkelanjutan memiliki tingkat maturity (kematangan) yang berbeda.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai APBN tidak bisa dijadikan sumber pendanaan utama karena kebutuhan pembiayaan EBT yang sangat besar.

Menurut dia, pemerintah tetap harus memberikan pendanaan EBT yang berasal dari dana APBN dan juga memberikan subsidi, tetapi porsi blended finance harus lebih besar agar tidak memberatkan APBN.

Faisal menilai investor asing banyak yang berminat untuk terlibat dalam ekosistem EBT, utamanya pembangunan solar panel. Oleh karena itu, CORE sangat mendukung pemerintah untuk menjaring investor masuk ke skema blended finance guna mendorong pencapaian target EBT di Tanah Air.

"Fungsi dari pemerintah mendorong kerja sama antara stakeholders untuk memasukkan pembiayaan untuk EBT. Satu sisi harus ada alokasi khusus untuk pembangunan EBT namun harus ada blended, keduanya diorkestrasi dan tidak tumpang tindih menurut skala prioritas," ucap dia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengatakan Indonesia mendorong adanya skema blended finance yang mampu menjadi win-win solution dari sisi investasi.

"Blended finance jadi salah satu cara untuk solusi pendanaan transisi energi. Saya yakin semua negara ingin mencapai cita-cita ini. Maka perlu kerja sama untuk bisa mencapai hal tersebut,” ujar Luky.

Baca juga: Pengamat: Presidensi G20 momentum tagih komitmen transisi energi

Menjaring pembiayaan di G20

Salah satu pemain kunci dalam transisi energi adalah PLN. Saat ini PLN telah melakukan berbagai upaya penurunan emisi karbon, mulai dari penurunan emisi dari sektor pembangkit listrik, hingga mendorong masyarakat terlibat aktif dalam penggunaan energi berbasis listrik dalam kehidupan sehari hari, termasuk menggenjot pembangkit EBT.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, PLN bakal membangun pembangkit EBT sebesar sekitar 51,6 persen dari target penambahan pembangkit baru.

Namun, PLN membutuhkan dukungan melalui pembiayaan berbunga rendah, kerangka kebijakan, dan kolaborasi proyek. Setidaknya PLN membutuhkan investasi hingga 500 miliar dolar AS atau kurang lebih Rp7.500 triliun untuk bisa menjalankan proyek transisi energi. Oleh karena itu PLN mengajak negara anggota G20 untuk bisa berkolaborasi dalam penurunan emisi karbon demi mencapai target nol karbon pada 2060.

“Karena seluruh upaya kami juga akan berdampak langsung pada dunia. Misalkan saja, emisi karbon yang dihasilkan di Bali saja juga akan berdampak pada Eropa dan Jepang. Sehingga upaya kami dalam menurunkan emisi yang akan berdampak langsung pada dunia ini perlu dukungan," ujar Darmawan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan dunia tidak perlu ragu atas komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global.

Sebagai tuan rumah Presidensi G20, Indonesia sudah menjalankan roadmap penurunan emisi karbon. Meski demikian, upaya tersebut perlu dukungan negara lain untuk bisa sukses. Menko Luhut menuturkan, belajar dari pemulihan ekonomi global dari pandemi COVID-19, kolaborasi yang sama mestinya juga diterapkan dalam target pengurangan emisi.

"Kami membutuhkan kolaborasi yang konkret, tidak hanya kerja sama dari sisi pendanaan tetapi juga sharing teknologi dan investasi untuk membuka lapangan pekerjaan yang semuanya sejalan dengan cita-cita global dalam penurunan emisi," ujarnya.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan bahwa pemerintah ingin memanfaatkan forum G20 untuk memberikan sebesar-besarnya bagi Indonesia terkhusus netralitas karbon. Menurut dia, transisi energi punya banyak tantangan dan pemerintah ingin merubah tantangan tersebut menjadi opportunity.

"Kita tunjukkan bahwa Indonesia ini siap dari sisi regulasi," kata Dadan.

Salah satu skema blended finance yang telah berhasil disepakati adalah komitmen Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pembiayaan proyek kelistrikan PLN sebesar 600 juta dolar AS atau kurang lebih setara Rp8,5 triliun yang sudah disepakati Mei 2022 silam.

Pendanaan dari ADB tersebut akan digunakan PLN untuk tiga fokus utama. Pertama, memperkuat jaringan transmisi di Jawa Bagian Barat dan Jawa Bagian Tengah serta modernisasi infrastruktur kelistrikan.

Kedua meningkatkan pemanfaatan clean energy, seperti solar PV dan proyek EBT potensial dan yang ketiga untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan perusahaan. 

ADB juga mengajak semua pihak untuk bisa membantu Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi karbon. ADB yang selama ini sudah bekerja sama dengan Indonesia dalam proyek energi bersih mengaku tak lagi ragu atas komitmen Indonesia.

"Kami sudah sejak lama membantu Indonesia dalam proyek energi bersih. Kami tentu saja akan selalu mendukung Indonesia. Kami mengajak semua pihak mempunyai semangat yang sama untuk menjawab kebutuhan Indonesia," ujar Vice President for East Asia, Asian Development Bank, Ahmed Saeed.

Baca juga: Kadin minta dukungan regulasi untuk transisi energi di industri

Baca juga: IRENA puji keseriusan Indonesia terhadap transisi energi

Baca juga: Kementerian ESDM dorong konservasi energi di kalangan industri

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022