Adapun virus cacar monyet yang berasal dari Afrika Barat memiliki CFR kurang dari 3 persen. WHO (2022) melaporkan CFR cacar monyet 1,4 persen.
Pada tahun 1958, orthopoxvirus pertama kali ditemukan tim ilmuwan di laboratorium Denmark. Pada tahun 1970, kasus pertama cacar monyet pada manusia berhasil diidentifikasi pada anak laki-laki berusia 9 bulan di Republik Demokratik Kongo.
Sejak itulah sebagian besar kasus cacar monyet telah dilaporkan di Afrika Tengah dan Afrika Barat.
Data internasional bervariasi dalam rute paparan dan skala kasus cacar monyet. Pada tahun 2003, terjadi wabah cacar monyet di Amerika Serikat. Saat itu terdapat 47 kasus manusia yang dikonfirmasi positif cacar monyet akibat kontak dengan anjing peliharaan yang tempatnya berdekatan dengan hewan pengerat.
Pada tahun 2018, ditemukan dua kasus cacar monyet di Inggris. Satu kasus terdeteksi dari wisatawan Nigeria yang berkunjung ke Inggris. Yang kedua berupa kasus nosokomial pada petugas kesehatan yang secara epidemiologis terkait perawatan kasus cacar monyet. Tahun 2019 dan 2020 juga dilaporkan kasus serupa di Inggris.
Pada tahun 2021, di Amerika Serikat, semua turis yang kembali dari Nigeria terdeteksi positif cacar monyet dari varian Afrika Barat. Dalam wabah ini, jarang terjadi penyebaran dari manusia ke manusia. Untungnya insiden tersebut tidak berdampak buruk bagi populasi yang lebih luas, setelah upaya kesehatan masyarakat yang paripurna nan terpadu dikolaborasikan multisektoral.
Salah satunya dengan upaya isolasi pasien dan kontak dalam waktu yang lama. Inggris telah menggunakan fasilitas High Consequence Infectious Disease untuk perawatan pasien.
Pada 6 Juni 2022, terdapat 29 negara di Eropa dan Amerika Utara yang melaporkan 1.002 kasus positif cacar monyet ke WHO. Beruntung tidak ada kematian yang dilaporkan.
Hingga kini, wabah cacar monyet menjangkiti sebagian besar kaum pria yang berhubungan seks dengan sesamanya. Mayoritas kasus teridentifikasi dari pria yang mencari pertolongan di layanan primer dan klinik kesehatan karena gejala mirip infeksi menular seksual.
Di Indonesia, kasus pertama cacar monyet pertama kali dilaporkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 20 Agustus 2022.
Inkubasi dan Vaksinasi
Masa inkubasi cacar monyet 6-13 hari setelah paparan. Referensi lain menyebutkan 5-21 hari. Meskipun kebanyakan penderita dapat sembuh dalam beberapa minggu, komplikasi parah dan gejala sisa dilaporkan lebih umum dialami oleh mereka yang tidak divaksinasi cacar (74 persen) dibandingkan dengan mereka yang divaksinasi (39,5 persen).
Belum jelas apakah kekebalan terhadap vaksinasi cacar berkurang dari waktu ke waktu. Riset menunjukkan bahwa vaksinasi cacar 85 persen efektif mencegah cacar monyet.
Riwayat vaksinasi cacar sebelumnya menjadikan perjalanan penyakit lebih ringan. Namun perlu untuk memastikan status vaksinasi pada setiap orang yang terpajan cacar monyet. Bukti vaksinasi sebelumnya terhadap cacar umum dijumpai sebagai bekas luka di lengan atas.
Transmisi
Penularan cacar monyet berpotensi terjadi dari hewan ke manusia, manusia ke manusia, serta dari lingkungan yang terkontaminasi ke manusia. Virus cacar monyet ditularkan dari hewan yang terinfeksi ke manusia melalui kontak tidak langsung atau langsung.
Penularan terjadi dari gigitan atau garukan. Dapat juga berlangsung selama aktivitas tertentu, misalnya: berburu, menguliti, menjebak, memasak, bermain dengan bangkai, atau mengonsumsi hewan, seperti primata non-manusia, hewan pengerat darat, kijang, dan tupai pohon. Sirkulasi virus yang begitu luas di populasi hewan belumlah sepenuhnya diketahui dan riset lanjutan sedang dilakukan tim ilmuwan.
Penularan dari manusia ke manusia terjadi lewat kontak langsung melalui kulit. Hal itu meliputi: proses tatap muka, kontak kulit dengan kulit, mulut dengan mulut, mulut dengan kulit, juga droplet (saat batuk atau bersin). Virus cacar monyet memasuki tubuh melalui kulit yang terinfeksi, lewat mukosa (seperti: rongga mulut, tenggorokan, selaput tipis mata, dan alat kelamin), dapat juga melalui saluran pernapasan.
Masa infeksi bervariasi. Umumnya pasien dianggap menular hingga lesi kulit berkerak, keropeng telah jatuh dan segar lapisan kulit telah terbentuk di bawahnya. Penularan juga berpotensi terjadi dari lingkungan ke manusia. Hal ini dinamakan transmisi fomite. Ada satu kasus petugas kesehatan dengan infeksi cacar monyet tertular virus melalui kontak dengan tempat tidur yang terkontaminasi.
Virus ternyata dapat bertahan 1-56 hari, tergantung suhu dan kelembaban ruangan. Virus belum dijumpai di air limbah. Penularan cacar monyet juga dilaporkan terjadi terutama melalui kontak fisik erat, termasuk kontak seksual, baik oral, vaginal, dan anal.
Jalur penularan melalui aerosol, saluran pernapasan, atau cairan tubuh lain (ASI, ketuban, darah, air mani, cairan vagina) masih dalam proses penyelidikan.
Potret Klinis
Cacar monyet dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala klinis. Fase awal penyakit klinis berlangsung 1-5 hari. Saat terpapar virus, seseorang akan mengalami demam, pusing, nyeri otot, sakit punggung, mudah Lelah. Limfadenopati juga dijumpai sebagai karakteristik utama. Limfadenopati (kelainan kelenjar getah bening) dijumpai pada 98,6% dari kohort lebih dari 200 pasien cacar monyet di Republik Demokratik Kongo.
Fase kedua terjadi 1-3 hari usai demam mereda. Ditandai dengan munculnya ruam. Ruam kemerahan pada kulit akan muncul secara berurutan. Dokter atau dermatologis akan medeteksi ruam kulit tersebut sebagai: makula, papula, vesikel, pustula, umbilikasi sebelum menjadi krusta dan deskuamasi selama periode 2-3 minggu.
Lesi berdiameter 0,5-1 cm berjumlah beberapa hingga ribuan. Erupsi kulit cenderung bersifat sentrifugal. Mulai wajah, memanjang ke arah telapak tangan hingga telapak kaki. Proses itu juga dapat melibatkan selaput lendir mulut, konjungtiva, kornea, serta alat kelamin. Pengamatan dari wabah saat ini di negara-negara Eropa dan Amerika Utara menggambarkan lesi muncul di daerah genitalia.
Ulkus (luka) di mulut sering terjadi dan menurunkan selera makan dan minum pasien sehingga menyebabkan dehidrasi dan malnutrisi. Peradangan pada faring, konjungtiva dan mukosa genital juga terjadi.
Studi observasional prospektif dari 216 pasien cacar monyet di Republik Demokratik Kongo menemukan gejala klinis yang paling umum berupa: ruam (96,8%), malaise (85,2%) dan sakit tenggorokan (78,2%).
Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium pasien cacar monyet selama sakit menunjukkan gambaran leukositosis (peningkatan jumlah sel darah putih), peningkatan transaminase, penurunan kadar nitrogen urea darah, dan hipoalbuminemia (penurunan kadar albumin di aliran darah). Gambaran limfositosis (peningkatan kadar limfosit di dalam darah) dan trombositopenia (penurunan jumlah keping darah atau trombosit) terlihat pada lebih dari sepertiga pasien yang dievaluasi.
Kepastian pasti diagnosis cacar monyet dilakukan melalui uji PCR (polymerase chain reaction) untuk menentukan karakteristik virus.
Diagnosis Banding
Ruam cacar monyet dapat menyerupai berbagai infeksi penyakit menular lainnya, seperti: campak, kudis, virus varicella zoster (cacar air), virus herpes simpleks, sifilis (primer atau sekunder), infeksi gonokokal diseminata, penyakit kuku dan mulut, chancroid, limfogranuloma venereum (LGV), granuloma inguinale, moluskum contagiosum, rickettsia pox, chikungunya, virus zika, demam berdarah, vaskulitis, infeksi bakteri kulit lainnya serta infeksi jaringan lunak.
Ruam pada kasus virus varicella zoster mirip dengan kasus cacar monyet karena mirim ruam pada varisela pada umumnya. Bedanya, ruam akibat virus varicella zoster berlangsung lebih cepat, lebih terpusat daripada distribusi sentrifugal pada virus cacar monyet.
Pasien dengan virus varicella zoster biasanya tidak memiliki lesi pada telapak tangan mereka dan tidak memiliki limfadenopati. Limfadenopati adalah patognomonis (ciri khas) penderita cacar monyet.
Riset di Republik Demokratik Kongo melaporkan insiden 10-13% pada kasus koinfeksi dengan cacar monyet/virus varicella zoster. Para pasien dengan koinfeksi mengalami: kelelahan, menggigil, sakit kepala, dan mialgia. Mereka tidak melaporkan tanda atau gejala luka di mulut, ketiak, limfadenopati, batuk, atau sakit tenggorokan.
Merawat pasien suspek atau terkonfirmasi cacar monyet memerlukan introduksi dan deteksi dini, implementasi cepat, tindakan tepat, pengujian kemungkinan patogen untuk mengkonfirmasi diagnosis, manajemen gejala pasien dengan cacar monyet ringan atau tanpa komplikasi dan pemantauan serta pengobatan komplikasi dan kondisi yang mengancam jiwa seperti dehidrasi berat, pneumonia berat dan sepsis.
Peran terapi spesifik untuk cacar monyet tetap eksperimental dan dapat digunakan berdasarkan pengawasan tim medis.
Intinya, manajemen dan pencegahan cacar monyet serupa dengan tatalaksana infeksi orthopoxvirus lainnya. Imunisasi dengan vaksin smallpox dapat memberikan efek protektif terhadap cacar monyet dan memperbaiki manifestasi klinis.
Sebagian besar pasien cacar monyet dengan kasus ringan akan pulih sendiri tanpa intervensi medis, namun terapi dengan obat antivirus atau vaccinia immune globulin dapat dilakukan pada individu dengan kasus berat atau immunocompromised. Antivirus juga dapat direkomendasikan dokter pada kasus anak-anak, ibu hamil dan menyusui.
Komplikasi
Cacar monyet perlu segera diatasi. Bila tidak, maka berpotensi terjadi komplikasi. Bekas luka berlubang berpotensi berkembang menjadi bopeng. Contoh lainnya: superinfeksi bakteri di kulit, jaringan parut (skar) permanen, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, dehidrasi (mual, diare, penurunan asupan makanan melalui mulut karena lesi mulut yang nyeri, kehilangan cairan yang tidak terlihat dari gangguan kulit yang meluas), kehilangan penglihatan karena muncul jaringan parut permanen di kornea (kebutaan), pneumonia, sepsis (keracunan darah akibat beredarnya patogen di aliran darah), ensefalitis (peradangan otak karena proses infeksi), hingga kematian. Gangguan mental juga berpotensi dialami penderita cacar monyet.
Satu studi melaporkan lebih dari 90% penderita cacar monyet tidak mengalami komplikasi, terlepas dari status vaksinasi cacar. Studi lebih lanjut diperlukan tentang karakterisasi klinis, juga komplikasi jangka menengah dan panjang dari kasus cacar monyet.
Pencegahan
Kewaspadaan kontak dan penularan melalui droplet diterapkan untuk setiap pasien dengan suspek cacar monyet. Area di dalam fasilitas perawatan kesehatan yang sering digunakan oleh pasien atau di mana kegiatan perawatan pasien terjadi dan peralatan perawatan pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sesuai dengan pedoman nasional atau fasilitas layanan kesehatan.
Seprai, kain, handuk, pakaian, dan barang-barang lain milik pasien di rumah sakit, harus ditangani dan dikumpulkan dengan hati-hati. Semua cairan tubuh dan limbah padat pasien cacar monyet perlu diperlakukan sebagai limbah infeksius. Pasien cacar monyet yang diisolasi tetap perlu diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan keluarga dan pengunjung untuk mempercepat kesembuhan.
Di Belgia, pemerintah telah memperkenalkan program wajib karantina selama 21 hari untuk penderita cacar monyet. Untuk meningkatkan kewaspadaan umat serta meningkatkan kecerdasan literasi kesehatan masyarakat terhadap cacar monyet, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Monkeypox yang dapat diunduh secara gratis.
*) Dokter Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar, penulis “Ensiklopedia Penyakit dan Gangguan Kesehatan”, sedang studi S3 di Taipei Medical University Taiwan
Pewarta: dr Dito Anurogo MSc *)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022