G20 hadapi tantangan atasi ancaman AMR

28 Agustus 2022 18:21 WIB
G20 hadapi tantangan atasi ancaman AMR
Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono saat membuka diskusi tentang upaya penanggulangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Forum Side Event G20, Nusa Dua, Bali, Rabu (24/8/2022). ANTARA/Andi Firdaus/am.
Pertemuan G20 di Bali pada 24 Agustus 2022 mengungkap berbagai laporan mencengangkan terkait angka kejadian di dunia karena pengaruh antimikroba yang tak lagi berfungsi mengobati beragam penyakit yang diderita pasien.

Kejadian itu dikenal sebagai Antimicrobial Resistance (AMR), di mana antimikroba dalam bentuk antibiotik, antivirus, antijamur, antiparasit, antituberkulosis dan sebagainya, tak lagi ampuh mengatasi infeksi akibat bakteri, kuman, virus, jamur, parasit di tubuh pasien.

Jurnal Ilmiah Internasional Lancet pada Januari 2022 menyebutkan terdapat 643.381 kematian akibat malaria, 700.660 kematian akibat kanker payudara, 863.837 kematian akibat HIV/AIDS dan 1,27 juta jiwa kematian akibat AMR.

Kementerian Kesehatan RI menyebut angka tersebut sebagai laporan yang mengejutkan. Pandemi COVID-19 melanda seperti tsunami, sedangkan AMR lebih dahsyat, seperti air pasang laut. Secara diam-diam, prevalensi penyakit itu terus meningkat.

Metode pengobatan pasien menggunakan antibiotik mulai masif di dunia medis sejak 70 tahun silam karena dikenal telah menyelamatkan banyak nyawa, terutama selama Perang Dunia II.

Delegasi G20 dalam forum di Bali itu meyakini jika antibiotik di era sekarang telah sampai pada titik sering disalahgunakan, diperoleh tanpa resep dokter, dan sering disalahgunakan pada manusia, hewan, tumbuhan, bahkan lingkungan.

Efektivitas dan terbukanya akses kepada antibiotik berujung pada penggunaan secara berlebihan. Kebanyakan orang menggunakan antibiotik untuk mencegah kuman, yang sebenarnya belum tentu penyakit itu disebabkan oleh kuman.

Protokol pengobatan yang sembarangan memicu infeksi pada pasien bertambah parah, bahkan memicu angka kematian yang tinggi sebab sebagian bakteri memperoleh kekebalan terhadap antibiotik.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan AMR sebagai ancaman serius yang bukan lagi prakiraan pandemi di masa depan, sebab sudah terjadi di setiap bagian penjuru dunia, dan berpotensi memengaruhi siapa saja, dengan umur berapapun, di negara mana pun.


Dampak

Pertemuan Side Event di Nusa Dua Bali itu diikuti secara daring oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Asisten Direktur Jenderal Antimocroba WHO Hannan Balkhy, pakar di bidang kesehatan hewan dan organisasi pangan dan pertanian.

Para ahli memperkirakan AMR berpotensi menyebabkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahunan global turun sebesar 3,8 persen pada 2050, serta 28 juta orang hidup dalam kemiskinan.

Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama yang menjadi pembicara dalam forum itu melaporkan saat ini satu orang anak di negara berpenghasilan menengah dan kecil meninggal setiap tiga menit akibat Infeksi darah yang disebabkan bakteri yang resisten.

Delegasi di pertemuan itu juga mengalkulasi risiko tambahan beban kesehatan di setiap negara sampai Rp1 triliun akibat AMR. Pada 2016, Review Global memperkirakan tak kurang dari 10 juta kematian di dunia akan terus bertambah hingga 2050 jika terjadi pembiaran terhadap AMR.

AMR atau dikenal sebagai pandemi tersembunyi memicu angka kasus kematian tertinggi, khususnya di kawasan tropis, seperti Indonesia, sebab belum semua negara memiliki data berskala nasional tentang dampak AMR.

WHO mengungkap kesenjangan antarnegara dalam menghimpun data AMR. Seperti, kualitas diagnosis hingga pencegahan infeksi awal yang relatif rendah.

WHO juga mendorong seluruh negara meningkatkan pengetahuan terhadap AMR melalui kegiatan survei berkala untuk mengukur laju kasus dan mempersiapkan protokol kesehatan mengantisipasi kejadian terburuk.

Karena itu seluruh negara dan lintas sektor diminta ikut bertanggung jawab terhadap tantangan AMR melalui sikap proaktif melaporkan kasus serta berbagi keberhasilan dan kegagalan dalam upaya penanggulangannya.

Sistem kesehatan yang lebih kuat penting untuk mengatasi AMR dan memastikan bahwa antimikroba tetap efektif untuk generasi mendatang.


Reaksi G20

Pada 2018, WHO Asia Tenggara telah menyusun rencana kerja bagi semua negara dalam bentuk AMR National Action Plan melalui pelaksanaan pengumpulan data negara anggota di Asia Tenggara untuk masuk dalam data dunia dalam bentuk Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS).

Upaya itu juga dirangkai dalam Program Tripartite AMR country self-assessment survey (TrACSS) untuk mengetahui bagaimana program AMR berjalan, termasuk di Indonesia.

Pelaksanaan World Antimicrobial Awareness Week yang digelar satu tahun sekali diharapkan jadi bahan peningkatan pemahaman dan advokasi tingkat dunia, regional dan negara.

Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun ini menjabarkan rencana strategis serta peta jalan dalam upaya pengendalian dampak resistensi antimikroba pada hewan ternak dan manusia.

Indonesia telah memberlakukan peraturan penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pangan.

Indonesia juga melarang penggunaan Colistin pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 9736 Tahun 2000.

Colistin sebagai obat antibiotik untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, menjadi pilihan terakhir bagi kesehatan hewan atau kesehatan manusia di Indonesia.

Meningkatnya populasi manusia dan maraknya aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap degradasi lingkungan serta berdampak secara signifikan pada kompleksitas ancaman kesehatan dan perkembangan epidemiologi penyakit infeksi baru di dunia.

Kementerian Pertanian RI telah mengambil peran dalam pendekatan "One Health" bersama seluruh pihak terkait secara global maupun nasional demi tercapainya kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.

Pengendalian resistensi antimikroba juga diamanatkan Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2019 tentang peningkatan kemampuan dalam pencegahan dan deteksi merespons wabah penyakit pandemi global dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia.

Resistensi antimikroba menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan kesehatan nasional. Semoga reaksi G20 di Forum Side Event AMR tahun ini mencapai rumusan jitu untuk mengatasinya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022