• Beranda
  • Berita
  • Menyiapkan generasi masa depan dengan literasi digital

Menyiapkan generasi masa depan dengan literasi digital

4 September 2022 13:45 WIB
Menyiapkan generasi masa depan dengan literasi digital
Ilustrasi orang tua mendampingi anaknya saat mengakses internet agar anak terhindar dari kejahatan siber. (ANTARA/HO/Pexels)
Hampir dua tahun yang lalu warganet Indonesia dibuat berang karena hasil survei yang menunjukkan tingkat kesopanan orang Indonesia di internet rendah.

Survei Digital Civility Index dari Microsoft pada 2020 menunjukkan Indonesia berada di urutan 29 dari 32 negara yang disurvei untuk kesopanan di dunia maya. Tidak lama setelah hasil survei ini keluar, Kementerian Komunikasi dan Informatika membentuk Komite Etika Berinternet, menambah upaya pemerintah meningkatkan literasi digital masyarakat.

Literasi digital bisa dibilang barang berharga pada era internet ini. Meski teknologi internet sudah ada lebih dari 50 tahun yang lalu, di Indonesia, internet baru dikenal luas sejak keberadaan ponsel pintar, sekitar satu dekade belakangan.

Perkembangan teknologi yang semakin masif dan cepat menuntut banyak hal dari masyarakat, bukan lagi soal bagaimana cara menggunakan gawai, namun juga bagaimana internet bisa digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Kemenkominfo-GNLD Siberkreasi luncurkan 58 buku literasi digital

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia selalu naik dari tahun ke tahun. Survei terbaru, jumlah pengguna internet adalah 220 juta. Sebanyak 77 persen dari populasi Indonesia sudah terhubung ke internet.

Survei yang sama juga menunjukkan penggunaan internet meningkat, antara lain 53,99 untuk kelompok usia 19-34 tahun dan 47,91 persen usia 35-54 tahun. Sementara data Hootsuite untuk 2022 mengatakan pengguna Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 8 jam 36 menit per hari mengakses internet.

Data-data tersebut menunjukkan betapa internet berdampak besar di Indonesia. Seperti yang sering dikatakan para pakar internet, teknologi adalah pisau bermata dua. Ia bisa membawa kebaikan sekaligus keburukan.

Mengutip pendapat dosen Komunikasi Universitas Udayana, Bali, Ni Made Ras Amanda Gelgel bahwa tidak semua informasi yang ada di internet adalah benar. Sayangnya, belum semua orang tahu bagaimana cara memilah dan memilih informasi yang bertebaran di jagat maya.

Kita bisa mengambil contoh dari hal yang terjadi sehari-hari, pesan yang diteruskan melalui grup WhatsApp. Tua-muda, semua tidak ingin ketinggalan menyampaikan informasi terbaru, terpenting.

Baca juga: Literasi digital bantu masyarakat pahami pelindungan data

Seberapa akurat informasi tersebut, apakah informasi itu berasal dari sumber yang kompeten, belum tentu mereka tahu.

Literasi digital sangat berperan dalam mengatasi fenomena ini. Masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan bagaimana mengidentifikasi pesan yang berpotensi hoaks dan apa dampaknya jika mereka sering terpapar hoaks.

Betapa pentingnya literasi digital bisa dilihat dari karakteristik internet sebagai media baru. Jika dibandingkan dengan televisi, misalnya, gawai yang tersambung ke internet kebanyakan ditujukan untuk penggunaan pribadi.

Jika saat menonton televisi keluarga bisa berkumpul menonton satu acara yang sama, cerita yang berbeda terjadi ketika mengakses ponsel. Keluarga bisa berada di ruangan yang sama, namun setiap orang menatap layar miliknya masing-masing.

Memberi pemahaman soal berinternet pun semakin rumit karena sifat individualistis yang ditawarkan internet.

Posisi literasi digital saat ini bisa dikatakan sama pentingnya dengan pendidikan formal. Internet membuka peluang kemunculan banyak teknologi baru. Artinya, keterampilan yang diajarkan hari ini, bisa jadi harus diperbarui enam bulan berikutnya karena ada fenomena baru.

Baca juga: Kominfo sebut tantangan literasi digital di Papua berangsur teratasi

Contohnya, ketika masyarakat mulai mengenal kode one-time password (OTP) untuk menggunakan dompet digital, penjahat siber beraksi mengaku sebagai penyelenggara dompet digital dan membutuhkan OTP tersebut untuk verifikasi data.

Maka, dalam literasi digital, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kode OTP tidak boleh diberikan ke siapa pun, bukan sekadar bagaimana cara menggunakan kode OTP.

Siapa yang perlu mendapatkan pelatihan literasi digital?

Berbeda dengan pendidikan formal, yang biasanya diikuti usia 5 tahun sampai belasan tahun, sasaran literasi digital jauh lebih luas: mereka yang hidup dan menggunakan internet.

Sama pentingnya seseorang berusia 5 tahun dan 50 tahun terpapar literasi digital, tentu dengan pemahaman yang sudah disesuaikan dengan kategori usia. Misalnya, pada usia 5 tahun, literasi digital dititikberatkan pada orang tua supaya memberi aturan berapa lama boleh menonton video.

Tidak seperti pendidikan formal, materi literasi digital tidak melulu harus mengikuti pertambahan usia, tapi seberapa sering mereka terpapar internet. Ilustrasinya, ketika kelas 1 SD, siswa diajarkan matematika berupa pertambahan. Ketika kelas 2 SD, materinya semakin kompleks, yaitu perkalian.

Ada standar kompetensi dalam pendidikan formal, yakni ketika kelas 2 SD siswa diharapkan sudah bisa perkalian. Sementara pada literasi digital, belum tentu bisa mengikuti pola seperti itu.

Baca juga: Kemenkominfo gandeng UPNV Yogyakarta tingkatkan literasi digital

Seberapa banyak seseorang terpapar internet bisa menjadi ukuran kemampuan digital apa yang dia butuhkan. Contohnya, kita tidak perlu memberi pelatihan cara menangkal serangan DDoS pada orang usia 30 tahun, yang sehari-hari menggunakan internet untuk belanja online.

Saking pentingnya literasi digital, ia menjadi salah satu isu prioritas dalam subforum G20, Digital Economy Working Group. Negara-negara anggota sepakat perlu ada standar indikator mengukur kemampuan digital.

Literasi digital adalah investasi jangka panjang, hasilnya belum tentu kelihatan dalam waktu dekat. Apa yang diajarkan saat literasi digital hari ini, belum tentu bisa mengubah sikap peserta keesokan harinya.

Tapi, perilaku yang positif menggunakan teknologi digital jika diperkenalkan terus menerus bisa menjadi kebiasaan. Kemudian membudaya.

Indonesia tentu ingin memetik hal-hal yang gemilang dari bonus demografi 2030 nanti dengan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki talenta digital tapi juga etika tinggi dalam berinternet.

Dengan literasi digital yang digelorakan dalam subforum Presidensi G20 Indonesia dan upaya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika berkolaborasi dengan berbagai instansi dan komunitas diharapkan berinternet untuk kegiatan positif dan bermanfaat menjadi budaya generasi dan bangsa kita.

Baca juga: Penguatan literasi penting hadapi tantangan berat di dunia digital

Baca juga: Pemerintah tingkatkan kompetensi digital guru di daerah 3T

Baca juga: Kemenkominfo minta ASN buat konten kreatif yang mendidik

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022