Hal itu disampaikan Bahlil Lahadalia saat menghadiri Sidang ke-25 Dewan Kawasan Investasi ASEAN (AIA Council) di Kamboja, Rabu (14/9), dimana ia menyebut tidak semua negara mendukung perkembangan negara-negara di ASEAN, misalnya terkait hilirisasi yang dilakukan Indonesia.
"Indonesia mengalami hal ini saat ini. Ketika kita sedang fokus melakukan hilirisasi terhadap nikel untuk membuat baterai mobil dan sebagian negara itu memprotes kami di WTO (World Trade Organization). Ini contoh kecil, tapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadi pada negara-negara lain," kata Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.
Merespons ASEAN Investment Report (Laporan Investasi ASEAN) 2022 yang disusun oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development), Bahlil pun mengajak ASEAN untuk merumuskan prioritas bersama dan saling menguatkan dengan pendekatan pada keunggulan komparatif masing-masing negara.
"Sebab saya punya keyakinan bahwa kita kuat, tapi kita masih belum fokus pada masing-masing dalam memberikan penguatan kepada sesama negara ASEAN. Saya juga mengapresiasi apa yang disampaikan oleh UNCTAD tadi, bahwa reformasi terhadap berbagai regulasi dan pelayanan itu menjadi sesuatu yang fundamental," ujarnya.
Uni Eropa (UE) pada November 2019 mengajukan gugatan kepada WTO perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium, yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.
Baca juga: Bahlil soroti distribusi investasi tidak merata di kawasan ASEAN
Dalam gugatannya, UE menilai Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk nikel mentah.
Bahlil mengungkapkan pengembangan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam Indonesia saat ini berhasil dalam neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China mencapai 18 miliar dolar AS dan tahun 2021 masih defisit 2,5 miliar dolar AS.
Namun pada semester I 2022 neraca perdagangan Indonesia dengan China sudah surplus 1 miliar dolar AS dan secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia juga surplus sebesar 15,55 miliar dolar AS.
"Ini merupakan dampak nyata dari hilirisasi sumber daya alam yang terus didorong pemerintah saat ini. Kita harus tetap on the track. Semaksimal mungkin kita perjuangkan," ujar Bahlil Lahadalia.
Saat ini Indonesia sedang menunggu hasil akhir dari proses penyelesaian sengketa dagang yang dilayangkan UE di WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Gugatan tersebut sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.
Ada pun pelarangan ekspor bijih nikel ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2020 dan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Baca juga: Presiden Jokowi tak permasalahkan bila RI kalah gugatan WTO soal nikel
Baca juga: Anggota DPR dukung kebijakan Jokowi lanjutkan hilirisasi nikel
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022