Alzheimer seringkali membuat para lansia tidak produktif. Padahal, dengan pendekatan riset terbaru, para ilmuwan terus berupaya menemukan solusi teragnostik terkini untuk menaklukkan Alzheimer. Dengan demikian, meskipun menua, semua lansia senantiasa berbahagia.
Penyakit Alzheimer (AD) adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berwujud penurunan fungsi kognitif, neuropsikiatri dan motorik perilaku.
Akumulasi agregat beta amiloid adalah ciri khas AD yang bersifat neurotoksik, dan stres oksidatif yang dihasilkan menyebabkan kerusakan pada neuron dan sel otak.
Tujuan utama terapi AD adalah untuk melindungi neuron terhadap stres oksidatif, terapi antiamiloid, degenerasi dan melewati sawar darah-otak (BBB) untuk tindakan yang ditargetkan ke otak.
Sepuluh persen atau sebanyak 5,1 juta orang Amerika berusia di atas 65 tahun menderita AD. Pada 2050, generasi baby boomer yang menua akan menyebabkan jumlah itu mencapai 16 juta jiwa.
Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bogor, Jatinangor dan Medan, prevalensi kasus demensia lebih dari 20 persen. Angka ini cukup memprihatinkan karena rerata prevalensi demensia lansia global di bawah 10 persen.
Potret Klinis
Penyakit Alzheimer pertama muncul dengan pelupa (pikun), tetapi segera berkembang menjadi gangguan yang lebih parah dan melemahkan, termasuk kebingungan (disorientasi), gangguan berkomunikasi, gangguan memori (daya ingat) dan intelektual, sulit melakukan kegiatan sehari-hari yang sudah familiar atau menjadi kebiasaan, sulit fokus, sulit memahami visuospasial, sulit/salah membuat keputusan, perubahan perilaku dan kepribadian, mudah cemas, marah, atau tersinggung, meletakkan barang tidak pada tempatnya, menarik diri dari pergaulan (suka menyendiri).
Jelaslah bahwa pikun bukan proses penuaan normal, seperti anggapan kebanyakan orang.
Rata-rata pasien Alzheimer meninggal sekitar delapan sampai 12 tahun setelah diagnosis awal.
Penyebab dan Faktor Risiko
Gejala Alzheimer berkembang karena sel-sel otak (neuron) hancur. Mengapa neuron mati? Sebagian dari jawabannya terletak pada perubahan otak yang diamati pada pasien Alzheimer, termasuk karakteristik "plak" dan "kusut".
Plak adalah gumpalan protein padat dan beracun yang terkumpul di sekitar neuron. Kusut terjadi ketika serat di dalam neuron menjadi terpelintir, juga menyebabkan neuron mati.
Secara ilmiah, ada dua hipotesis yang menjelaskan penyebab Alzheimer. Pertama, hipotesis cholinergic. Degenerasi neuron-neuron kolinergik menyebabkan perubahan fungsi kognitif dan penurunan/kehilangan memori.
Hal ini dikarenakan penurunan marker kolinergik presinaptik di otak bagian korteks serebral, terjadinya proses neurodegenerasi parah nucleus basalis Meynert di otak bagian basal forebrain yang merupakan sumber inervasi kolinergik kortikal, serta peran antagonis kolinergik dalam penurunan fungsi memori dibandingkan dengan agonis yang memiliki efek berlawanan.
Kedua, hipotesis amyloid. Maksudnya, degradasi beta-amiloid terjadi karena kondisi patologis dan proses penuaan memicu akumulasi peptida beta-amiloid (A-beta-40 dan A-beta-42).
Peningkatan rasio A-beta-42 dan A-beta-40 menginduksi pembentukan fibril beta-amiloid, menghasilkan neurotoksisitas dan induksi tau patologi, sehingga memicu terjadinya kematian sel saraf dan proses neurodegenerasi.
Beragam faktor risiko juga berperan pada terjadinya Alzheimer. Misalnya peningkatan usia (penuaan), faktor genetika, cedera kepala, penyakit pembuluh darah, infeksi, faktor lingkungan (terpapar logam berat, logam jejak atau trace metals, dan lainnya).
Faktor risiko terpenting adalah penuaan. Beberapa kondisi yang terjadi saat proses penuaan, meliputi hipometabolisme glukosa, dishomeostasis kolesterol, disfungsi mitokondria, depresi, penurunan fungsi kognitif.
Adapun gangguan fungsi kolinergik merupakan faktor risiko utama terjadinya Alzheimer.
Ilmuwan lain berpendapat bahwa perubahan produksi dan proses beta-amyloid adalah faktor pemicu utama terjadinya Alzheimer.
Berbicara tentang genetika, sekitar 70 persen kasus Alzheimer terkait erat dengan faktor genetika. Sebagian besar kasus Alzheimer onset dini diwariskan melalui pola autosomal dominan dan mutase di beragam gen dominan, seperti APP (Amyloid precursor protein), PSEN-1 (Presenilin-1), PSEN-2 (Presenilin-2), dan ApoE (apolipoprotein E).
Malnutrisi adalah faktor risiko lain dari Alzheimer. Defisiensi nutrient, seperti folat, vitamin B12, dan vitamin D menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Tantangan
Menurut Kassem LM, dkk (2020), ada beberapa tantangan yang mendapat perhatian khusus para ilmuwan di dalam mengembangkan terapi untuk penderita Alzheimer.
Pertama, terapi Alzheimer harus sampai ke otak dengan melewati sawar darah otak atau blood-brain barrier (BBB). Penghalang ini merupakan tantangan biologis terbesar dan mendasar.
Patogenesis Alzheimer termasuk disfungsi BBB, penyebab kegagalan transportasi Aβ dari otak ke sistem peredaran darah perifer, menyebabkan peradangan saraf dan stres oksidatif.
Selain itu, BBB merupakan garis pertahanan pelindung pertama untuk mencegah zat atau benda asing melintasi darah ke otak.
Menurut Khan NH, dkk (2021), BBB berperan penting dalam memindahkan biomolekul masuk-keluar dari sistem saraf otak. Oleh karena itu, memahami karakteristik struktural dan fungsional BBB sangat penting untuk meningkatkan pengiriman zat/obat ke otak.
Faktor unit pelindung ini membantu mencegah perpindahan molekul antara darah dan otak yang terdiri dari lapisan endothelial vaskuler yang terikat dan melekat karena keberadaan tight junctions (jaringan pengikat) serta struktur pendukung lainnya.
Sel-sel endotel dikelilingi oleh membran basal yang diselimuti oleh astrosit dan terus dipantau dengan mengamati sel-sel mikroglia.
Domain kohesif, terikat pada sel endotel, memberikan kebersinambungan untuk transportasi selektif molekul-molekul kecil saat melintasi BBB.
Untuk memenuhi kebutuhan protein dan peptida selama homeostasis otak, transpor intraseluler terkontrol terjadi melalui transcytosis. Tergantung pada sifat molekul (hidrofilik dan hidrofobik), sel-sel endotel dengan bantuan berbagai protein pengangkut khusus dapat memfasilitasi pengangkutan.
Untuk penyembuhan Alzheimer, berbagai nanocarrier telah dilaporkan dalam uji praklinis.
Terdapat tiga strategi utama, yakni melintasi, menghindari, dan mengganggu BBB, yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi BBB dan mendorong pengiriman zat/obat ke otak.
Pertama, zat atau obat dapat melintasi BBB dengan mengeksploitasi beberapa jalur seperti jalur transeluler dan paraseluler.
Kedua, menghindari BBB menjelaskan semua rute administrasi lain yang lolos dari interaksi fisik langsung dengan BBB dan mengeksploitasi rute pengiriman lokal seperti rute intracerebroventrikular, intratekal, intraserebral, dan melalui operasi.
Ketiga, gangguan BBB mencontohkan metode non-invasif seperti sonikasi ultrasound terfokus, radiasi, dan penggunaan agen hiperosmotik dan surfaktan. Evolusi pendekatan berbasis nanopartikel seperti liposom, misel, quantum dots, chitosan, dendrimer, dan nanopartikel emas berpotensi solutif untuk pengiriman menuju otak melintasi BBB.
Nanopartikel
Beragam nanopartikel telah diselidiki sebagai “kendaraan” untuk pengantar obat yang tertarget dan terkendali. Nanopartikel memiliki keunggulan teknologi berupa tingginya kapasitas pemuatan obat dan stabilitas, keberanekaragaman dalam menggabungkan senyawa hidrofilik dan hidrofobik, serta keserbagunaan rute pemberian, termasuk secara oral dan inhalasi.
Beberapa riset membuktikan bahwa nanopartikel hidrofilik dengan ukuran partikel kurang dari 100 nm mampu menghindari opsonisasi, sehingga mencapai sirkulasi yang berkepanjangan dan memiliki kemampuan untuk terakumulasi pada situs target tertentu.
Sistem nanopartikel dapat digunakan dengan beberapa rute pemberian seperti oral, nasal, dan parenteral termasuk intravena, intramuskular, subkutan, dan intraokular.
Mayoritas sistem nanopartikel yang digunakan terdiri dari polimer alami dan sintetis, protein, dan polisakarida di mana obat digabungkan untuk pengiriman otak yang ditargetkan.
Nanopartikel polimer ini memiliki karakter penargetan otak yang menjanjikan sebagai karakter kimia yang dapat dimodifikasi untuk tujuan penargetan spesifik dan selektif sel dan kemampuan untuk mengubah pola pelepasan obat untuk efek obat yang terkontrol, berkelanjutan, atau diperpanjang, melindungi obat in situ dengan cara mengganggu kebutuhan lipofilik untuk melewati BBB.
Juga dapat melindungi obat dari degradasi enzimatik atau efek metabolisme lintas pertama, yang semuanya dapat membantu meningkatkan bioavailabilitas, menurunkan dosis terapeutik yang diperlukan, dan karenanya mengurangi toksisitas obat dan efek samping sistemik.
Ukuran sistem nanopartikel berkisar dari 1 hingga 1000 nm. Ada beragam bentuk nanosistem seperti nanopartikel, nanokapsul, nanospheres, nanogels, nanosuspensi, nanomicelles, dan nanoliposomes.
Pemilihan jenis nanosistem yang tepat tergantung pada sifat sel atau lokasi yang ditargetkan, sifat dan massa obat, pola pelepasan obat yang diperlukan, jenis bentuk sediaan, sifat obat, dan tantangan untuk mencapai otak atau sistem saraf pusat.
Keunggulan Nanopartikel
Secara umum, nanopartikel menawarkan banyak keuntungan yang menjanjikan untuk diterapkan di bidang medis sebagai terapi.
Misalnya, kapasitas pemuatan obat yang tinggi yang menurunkan kemungkinan interaksi kimia atau toksisitas, rasio luas permukaan terhadap volume yang tinggi, kemudahan manipulasi untuk pemberian parenteral karena ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel, mampu digunakan untuk strategi penargetan obat aktif dan pasif, tujuan pelepasan berkelanjutan dan terkontrol dari produksi obat, dan penargetan spesifik lokasi dengan panduan magnetik atau dengan menempelkan ligan penargetan ke permukaan dari partikel.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi metode pemilihan bahan pembuatan nanopartikel seperti ukuran nanopartikel yang dibutuhkan, sifat penargetan, kelarutan lipid atau air dan hidrofobisitas atau hidrofilisitasnya, stabilitas kimia dan fisik, muatan permukaan dan permeabilitas, biodegradabilitas, biokompatibilitas, sitotoksisitas, profil pelepasan obat, dan antigenisitas produk akhir.
Hambatan darah-otak menantang desain pengiriman obat. Pada umumnya bentuk sediaan obat farmasi tidak dapat dengan mudah melewati BBB; namun, mereka hanya dapat melewati penghabisan aktif atau transportasi yang dimediasi pembawa dalam formulasi obat biasa dengan bioavailabilitas yang sangat sedikit.
Studi in vivo dan in vitro memverifikasi perjalanan nanopartikel melalui BBB. Mereka mendukung penggabungan zat nanoterapeutik ke dalam otak, sehingga nanopartikel juga dapat diterapkan dalam diagnosis, terapi gen, serta terapi yang ditargetkan ke otak.
Terdapat beberapa karakteristik nanopartikel yang ideal untuk tujuan pengiriman obat otak. Nanopartikel haruslah tidak beracun, biodegradable, dan biokompatibel. Contohnya homopolimer polilaktida dan nanopartikel polimer polilaktida-ko-glikolida.
Ukuran partikel nano kurang dari 100 nm dimana laju pembersihan meningkat dengan bertambahnya ukuran partikel lebih dari 100 nm, sehingga mempengaruhi baik biodistribusi maupun bioavailabilitas.
Stabilitas fisik dan mencegah agregasi dalam darah diperlukan, di mana beberapa jenis nanopartikel dianggap beracun karena sifat permukaan fisik daripada kimia.
Perpanjangan waktu sirkulasi darah, di mana hanya nanopartikel PEGylated yang memiliki serapan lebih rendah dan waktu yang lama.
Pengiriman otak yang ditargetkan tanpa perlu refluks aktif atau jalur yang dimediasi pembawa, sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas dan kemanjuran obat dan mengurangi dosis terapeutik yang diperlukan dan kemanjurannya yang dihasilkan.
Pengiriman otak penargetan gen non-invasif, misalnya, imunoliposom PEGylated melalui transcytosis yang dimediasi reseptor yang memasukkan kontennya ke dalam jaringan otak tanpa melukai BBB.
Studi hemat biaya harus mengevaluasi potensi penggunaan nanomedicine untuk tujuan klinis. Peningkatan biaya pengobatan akan membatasi jumlah pasien yang dapat memperoleh manfaat dari obat-obatan tersebut.
Tatalaksana
Pendekatan religius piritual adalah kunci sekaligus pondasi keberhasilan tatalaksana Alzheimer. Caranya sederhana. Bersihkan hati, jiwa, dan pikiran dari ambisi duniawi. Milikilah kepasrahan total dan tingkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Rajin beribadah dalam arti luas serta mengkaji dan mengimplementasikan kitab suci di dalam kehidupan sehari-hari. Selalu mengingat Allah SWT di manapun dan kapanpun.
Aktivitas fisik dapat meningkatkan kesehatan otak dan mengurangi risiko terkena Alzheimer. Mekanismenya melalui proses aktivasi vaskularisasi otak, plastisitas, neurogenesis, dan reduksi inflamasi melalui penurunan produksi A-beta, di mana semua proses ini meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.
Konsumsi diet Mediterania, aktivitas intelektual, edukasi tinggi berpotensi mengurangi progresivitas Alzheimer, kehilangan memori, meningkatkan kapasitas otak serta fungsi kognitif.
Pendekatan kultural juga berpotensi sebagai tatalaksana Alzheimer. Misalnya mempelajari tembang Jawa (macapat), menulis aksara huruf lokal, mempelajari peribahasa daerah serta maknanya, mendalami kearifan lokal, memainkan permainan tradisional seperti layangan, gasing, dan sebagainya.
Tatalaksana simtomatis Alzheimer hanya boleh direkomendasikan oleh dokter. Dokter akan memberikan obat dari golongan inhibitor kolinesterase seperti donepezil, rivastigmine, galantamine, golongan antagonis N-metil-D-aspartat atau NMDA seperti memantine.
Tatalaksana futuristik lain berupa disease-modifying therapeutics atau DMT seperti Aducanumab, Gantenerumab, Azeliragon, Masitinib, Crenezumab, Donanemab, Zagotenemab, Semorinemab dan Daratumumab. Chaperones, Heat Shock Proteins misal Hsp60, Hsp70, Hsp90 serta vacuolar sorting protein 35 (VPS35), OT1001.
Tatalaksana berbasis tanaman obat atau ekstrak natural juga telah dikembangkan oleh para ahli. Misalnya bryostatin, suatu ekstrak macrolide lactone dari bryozoan Bugula neritina telah dievaluasi kemampuannya untuk menginduksi aktivitas alfa-secretase, mengurangi produksi A-beta, dan meningkatkan kapasitas memori dan pembelajaran dalam model hewan coba mencit dengan Alzheimer.
Nicotine juga merupakan persenyawaan alamiah pertama yang telah memasuki uji klinis untuk mengatasi Alzheimer. Dengan tatalaksana komprehensif dan berkesinambungan, maka penderita Alzheimer dapat senantiasa berbahagia.
Ternyata banyak sekali tokoh yang menderita Alzheimer. Mulai dari Ronald Reagan (presiden ke-40 Amerika Serikat), Enid Blyton (penulis legendaris Inggris), Rita Hayword (bintang film Amerika), Charlton Heston (aktor kawakan Hollywood), Charles Bronson (bintang film laga terkenal Hollywood), Etta James (penyanyi peraih Grammy dan Blues Music Awards), Malcolm Young (gitaris legendaris), Sugar Ray Robinson (petinju terbaik dunia), Norman Rockwell (seniman lukis Amerika), Terry Pratchett (novelis Inggris).
*) Dokter Dito Anurogo MSc, dosen tetap di FKIK Unismuh Makassar, sedang studi S3 di IPCTRM Taipei Medical University Taiwan, penulis “Ensiklopedia Penyakit dan Gangguan Kesehatan”, trainer dan penulis berlisensi BNSP, peraih International Scientist Awards 2022 kategori Best Researcher, reviewer berbagai jurnal nasional dan Internasional.
Pewarta: dr. Dito Anurogo M.Sc
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022