"Perbankan harus bisa menjaga likuiditas dan kualitas kredit dengan meningkatkan rasio laba yang dihasilkan bank dari modalnya (Return on Equity/RoE)," ucap Abiwodo dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dalam menjaga ketahanan, perbankan perlu mempertahankan pertumbuhan kredit di segmen korporasi, fokus pada nasabah unggulan yang mempunyai kualitas dan kinerja yang baik, serta memiliki pengalaman berdaya tahan terhadap gejolak resesi.
Di sisi lain, ia mengatakan kredit di sektor UMKM juga bisa menjadi pendorong RoE untuk menjaga ketahanan perbankan, terutama UMKM yang mempunyai orientasi ekspor dan ditopang dengan ekosistem digital yang mumpuni.
Baca juga: Ekonom: BI masih memiliki ruang menaikkan suku bunga ke depan
Sementara di lini konsumer, perbankan perlu melakukan strategi cross selling atau menjual produk berbeda dengan nasabah korporasi dan UMKM untuk produk-produk seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sejatinya, menurut Abiwodo, jurus menjaga ketahanan perbankan tersebut sudah diterapkan oleh bank-bank pelat merah alias BUMN, contohnya PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang sudah mengimplementasikannya untuk mendukung strategi pertumbuhan RoE hingga tiga tahun ke depan.
BNI optimistis langkah tersebut bisa meningkatkan RoE lebih dari 18 persen pada 2025. Terbukti, posisinya per Juni 2022 sudah mencapai 15,1 persen.
Baca juga: BI: Transmisi bunga acuan ke bunga kredit butuh waktu hingga 2 kuartal
"Jadi meski ekonomi global melambat dan terancam krisis keuangan, bisa saja Indonesia tidak terpengaruh secara signifikan jika pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan perbankan tetap waspada dan saling menjaga," ungkapnya.
Dirinya menuturkan perekonomian Indonesia saat ini memang masih cukup baik, dengan neraca perdagangan yang masih surplus dan cadangan devisa yang relatif stabil. Tetapi, risiko arus modal asing keluar dan perlambatan ekonomi akibat naiknya suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed yang hawkish wajib diwaspadai.
Setelah Bank Dunia mewanti-wanti terjadinya resesi global pada 2023, Fed pada bulan ini langsung menaikkan bunga acuan yang cenderung kontraktif sebesar 75 bps hingga kisaran tiga persen sampai 3,25 persen, yang merupakan tertinggi sejak 2008 dan kali kelima sepanjang 2022 untuk meredam inflasi yang mendekati level tertinggi sejak awal 1980.
Abiwodo mengungkapkan inflasi memang harus ditekan, namun kebijakan normalisasi moneter Negeri Paman Sam ini patut diwaspadai lantaran bisa menyebabkan arus modal asing yang dramatis pada negara-negara berkembang.
Selain itu saat bunga terkerek naik, banyak negara yang akan kesulitan dalam pembiayaan atau pengelolaan utangnya. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bahkan telah memperkirakan 60 negara akan menghadapi kesulitan ini dan bisa berdampak pada kejatuhan ekonomi.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022