• Beranda
  • Berita
  • Memenuhi protein hewani lewat peningkatan konsumsi ayam dan telur

Memenuhi protein hewani lewat peningkatan konsumsi ayam dan telur

25 September 2022 17:54 WIB
Memenuhi protein hewani lewat peningkatan konsumsi ayam dan telur
Pedagang menata telur ayam pada Bazar Sembako di halaman Kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang, Selasa (20/9/2022). ANTARA/Iggoy El Fitra.
Hampir semua pakar sepakat bahwa ayam dan telur merupakan sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi baik, terjangkau dan mudah didapat.

Dibandingkan hewan besar, seperti sapi atau kambing, harga sebutir telur atau seekor ayam untuk dimasak di dapur oleh para ibu rumah tangga jauh lebih terjangkau.

Demikian juga untuk mengolah ayam dan telur jauh lebih simpel dan sederhana. Untuk telur bisa diceplok, dadar hingga rebus saja sudah beres dan enak untuk disantap.

Kendati kedua komoditas tersebut memiliki kandungan gizi cukup baik, harga terjangkau dan mudah didapat , tingkat konsumsi rata-rata ayam dan telur warga Indonesia masih tertinggal jauh dibanding negara lain di Asia Tenggara.

Mengacu kepada data yang dikeluarkan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), konsumsi telur masyarakat Indonesia baru 130 butir per kapita per tahun atau hanya sembilan butir per bulan.

Sedangkan konsumsi ayam di Indonesia baru 12 kilogram per kapita per tahun. Sementara di Malaysia saat ini konsumsi ayam telah mencapai 40 kilogram per orang per tahun, dan telur 300 butir per orang per tahun.

Berdasarkan penelitian terungkap tingkat konsumsi protein hewani masyarakat akan berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa.

Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Joinaldy menyebut ada tiga negara yang mengonsumsi ayam broiler tertinggi di dunia, yaitu Israel, Amerika Serikat dan Jepang, yang saat ini ketiga negara itu ekonominya menguasai dunia.


Protein Ideal

Ayam dan telur merupakan sumber protein yang paling ideal dari sisi gizi, harga, hingga ramah lingkungan dalam proses peternakan.

Guru besar Ilmu Gizi Klinik Unand Prof Nur Indrawaty Liputo menilai ayam dan telur adalah makanan favorit, terutama di kalangan anak-anak karena kalau ikan mungkin ada yang tidak suka. Pada sisi lain daging sapi atau kambing, selain harganya lebih mahal, pengolahannya juga butuh waktu lebih lama.

Menurut dia dibandingkan menu lain, ayam dan telur mengolahnya lebih mudah dan cepat karena cukup diceplok atau didadar saja sudah jadi dan bisa disantap.

Dari sisi zat gizi, ayam juga tidak kalah dengan sumber protein hewani lainnya, seperti daging sapi atau kambing.

Kandungan zat gizi per 100 gram penyajian pada ayam terdapat 165 kcal, sementara daging sapi 185 kcal dan daging kambing 180 kcal kalori.

Sementara dalam per 100 gram penyajian pada ayam mengandung 31,2 gram protein, daging sapi 27,23 gram dan daging kambing 28,17 gram.

Ia melihat kandungan protein ayam lebih tinggi dan persentase penyerapan yang masuk ke dalam tubuh juga lebih baik mencapai 80 persen.

Kemudian ayam juga memiliki kandungan asam amino yang lengkap dibandingkan yang lain sehingga bisa disebut sebagai makanan kelas satu.

Sementara untuk telur ia menilai merupakan makanan yang komplit dan terbungkus dengan aman. Berbeda dengan daging yang bisa terpapar bakteri saat diolah.

Satu butir telur ayam mengandung 75 kalori, 7 gram protein, 5 gram lemak, serta vitamin dan mineral, meliputi zat besi, folat, vitamin B12, A, D dan E.

Tak hanya itu telur juga cukup mengenyangkan saat disantap untuk sarapan.

Ada banyak sekali studi yang menemukan memberikan telur pada anak dapat mencegah stunting, mempercepat pertumbuhan serta mengurangi risiko penyakit tidak menular.


Melawan Stigma

Salah satu pekerjaan rumah yang perlu menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana meningkatkan konsumsi ayam dan telur di masyarakat, sebagai salah satu sumber protein hewani.

Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy yang juga sarjana peternakan melihat, selama ini ada stigma yang berkembang di masyarakat kalau ayam broiler itu disuntik hormon dan jika seorang laki-laki terlalu banyak mengonsumsi bisa menjadi "kemayu".

Demikian juga ketika mengonsumsi telur ada anggapan bisa menyebabkan bisul. Ia pun membantah semua stigma tersebut karena tidak tepat.

Kepala Dinas Pangan Sumatera Barat Effendi juga mengakui warga Sumbar khawatir mengonsumsi telur dalam jumlah lebih banyak, padahal di luar negeri orang biasa saja makan telur empat sampai lima butir sehari.

Menjawab kekhawatiran tersebut Guru besar Ilmu Gizi Klinik Unand Prof Nur Indrawaty Liputo menilai hal itu amat bergantung pada cara pengolahan.

Ia mengemukakan ketika makanan diolah dengan bumbu dan santan sebenarnya akan menjadikan makanan yang lebih sehat ketimbang dimasak langsung tanpa bumbu.

Selain itu, menurutnya, berdasarkan sejumlah studi, konsumsi daging selama tidak dalam jumlah berlebihan, baik untuk pertumbuhan bagi anak-anak dan orang dewasa.

Akan tetapi ia melihat kecenderungan yang terjadi saat ini adalah anak-anak menginginkan makanan yang telah diolah, seperti burger, nuget dan sosis.

Ini menjadi persoalan karena, menurutnya, makanan yang telah diolah tersebut mengandung nitrit dan nitrat sebagai pelunak serta garam yang banyak.

Akibatnya memicu kanker dan hipertensi, namun bukan disebabkan protein dalam ayam, melainkan nitrit, nitrat dan garam.

Untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur di masyarakat, salah satu yang perlu diperhatikan adalah menjaga harga tetap terjangkau dan stabil.

Dosen Fakultas Peternakan Unand Dr Adrizal mengemukakan dalam beberapa waktu terakhir harga ayam dan telur sempat berfluktuasi, sehingga perlu dikaji bagaimana produksi unggas tersebut menjadi lebih efisien dan harganya terkendali serta terjangkau.

Ia mengungkap salah satu penyebab harga ayam dan telur sempat berfluktuasi karena tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga pakan.

Menurutnya harga pakan amat terpengaruh oleh nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS karena 40 persen bahan pakan ternak masih diimpor.

Bahan pakan tersebut terpaksa diimpor karena memang sulit diproduksi di Indonesia, seperti tepung daging dan tulang.

Tepung daging dan tulang sebenarnya adalah produk dari pemotongan hewan, namun di Indonesia sulit didapat karena di luar negeri yang dimakan hanya daging, sedangkan di Indonesia, jeroan, lidah, usus hingga buntut pun dimakan.

Untuk menyiasati harga pakan yang mahal tersebut, peternak dapat memakai pakan lokal, berupa jagung, dedak padi, bungkil kelapa dan ikan, khususnya bagi ayam lokal.

Untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur di Tanah Air perlu dilakukan kampanye secara berkelanjutan karena kedua makanan itu merupakan sumber protein hewani yang paling murah dibandingkan ternak besar.

Kampanye tersebut perlu dilakukan secara terpadu oleh seluruh pemangku kepentingan terkait, sehingga protein hewani bisa tercukupi dan menciptakan masyarakat yang lebih sehat serta mencegah stunting pada anak.

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022