Persaingan abadi antara Novak Djokovic, Roger Federer dan Rafael Nadal ternyata juga menciptakan persahabatan yang saling membutuhkan sehingga ketika salah satu menyatakan gantung raket tenis meninggalkan segala warisan agungnya, dua lainnya bersedih karena kehilangan.Atraksinya di lapangan selalu menampilkan level agung yang kadang sulit dijelaskan oleh kata-kata karena dia bermain bagaikan seniman
Ketika Jumat 23 September lalu Federer akhirnya mengumumkan pensiun dari tenis di tengah keseruan Piala Laver yang dua hari kemudian dijuarai Tim Dunia itu, Nadal dan Djokovic tak kuasa menahan air mata untuk lawan sekaligus sahabat mereka itu yang bertahun-tahun saling mengalahkan sampai trio ini kokoh di puncak kompetisi sampai melahirkan istilah "Big Three".
Djokovic bahkan meminta Federer mengurungkan niatnya pensiun dari tenis.
Petenis Serbia yang sudah mengoleksi 21 gelar juara Grand Slam itu berulang kali mengungkapkan rasa hormatnya kepada petenis yang sudah berulang kali dia hadapi lewat pertandingan-pertandingan heroik yang memeras waktu, keringat, energi dan emosi itu.
Berbicara setelah dia dan Matteo Berrettini membawa Tim Eropa unggul 8-4 atas Tim Dunia usai mengalahkan pasangan Jack Sock dan Alex de Minaur dalam Piala Laver itu, Djokovic meminta Federer jangan pensiun dulu.
"Saya kira kompetisi ini (Piala Laver) menjadi satu-satunya kompetisi di mana Anda bisa menjadi rekan satu tim untuk seteru abadi Anda," kata Djokovic berseloroh, seperti dilaporkan laman harian Inggris, The Express.
"Saya ingin katakan, kebanyakan orang mungkin beranggapan hal seperti ini tak akan terjadi lagi. Selalu ada harapan Roger akan kembali sehingga kita bisa kembali bermain bareng," sambung Djokovic.
Sumbangsih Federer memang sulit dilupakan siapa pun, tak terkecuali Djokovic.
Laman ATP Tour menulis ode menyentuh hati mengenai Federer.
Federer bukanlah kisah masa lalu, melainkan tentang masa kini, karena warisannya turun temurun dimainkan para penerusnya dari berbagai bangsa di berbagai arena tenis.
Federer telah menata kembali bagaimana tenis seharusnya dimainkan.
Kenyataannya, tak ada atlet yang memainkan tenis dengan begitu kaya, baik dalam kecepatan, kekuatan, kreativitas, maupun keanggunan, serta gabungan dari semua itu.
Tidak Rod Laver, tidak pula Bjorn Borg, pun tidak John McEnroe, juga Pete Sampras, atau pendahulu-pendahulunya yang lain..
ATP Tour menyebut, petenis asal Swiss ini dikarunia bakat dan keterampilan yang hampir supranatural dan surgawi.
Atraksinya di lapangan selalu menampilkan level agung yang kadang sulit dijelaskan oleh kata-kata karena dia bermain bagaikan seniman, bukan lagi sekadar atlet tenis.
Baca juga: Federer gugup menjelang turnamen perpisahan di Laver Cup
Baca juga: Roger Federer pamit dari tenis setelah kekalahan di Laver Cup
Selanjutnya: Roger yang bermental baja
Bermental baja
Yang membuat Federer lebih dari sekadar seniman serta salah satu kampiun tenis terbesar sepanjang masa, adalah semangat bertarungnya yang luar biasa besar.
Semangatnya yang pantang menyerah telah membuat Federer merengkuh prestasi nyaris mustahil pada era modern, dengan merebut 20 gelar juara Grand Slam, 103 nomor tunggal, enam Nitto ATP Final, 28 Masters 1000, menjadi nomor satu dunia selama 310 pekan, dan lima kali menjadi nomor satu dunia sampai penutupan tahun.
Kesenimanan Federer bisa dilihat dari pertarungannya melawan Nadal dalam final Wimbledon 2008 yang acap disebut sebagai laga tenis terbaik sepanjang masa.
Itulah kali pertama lapangan tenis disulap menjadi lapangan ping pong ketika kedua petenis saling serang dan bertahan dengan sama baiknya dalam reli-reli melelahkan.
Mereka saling berlari ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan, untuk memburu bola, dalam rangkaian posisi yang nyaris mustahil.
Legenda tenis putri, Billie Jean King, menyebut Federer sebagai petenis yang memiliki pukulan paling lengkap dalam generasinya.
Laga epik lainnya terjadi setahun kemudian yang juga dalam final Wimbledon, ketika Federer ditantang petenis Amerika Serikat Andy Roddic.
Saat itu dia melepaskan 50 ace yang merupakan terbanyak sepanjang karirnya dan hampir dua kali lipat dari yang bisa dilancarkan Roddic.
Federer membalikkan ketertinggalan 2-6 dalam set kedua termasuk saat Roddick sudah dua kali set point.
Bersama mental bajanya, Federer menghentikan perlawanan Roddick pada set kelima setelah bertarung selama lima jam 16 menit yang lalu dikenal sebagai laga final Wimbledon paling lama sepanjang masa.
Dari turnamen ke turnamen dari tahun ke tahun, dia senantiasa memamerkan daya juangnya yang tinggi, termasuk saat usia sudah menginjak 35 tahun dalam final Australian Open 2017 melawan Nadal.
Dia membuat pembalikan besar setelah sembuh dari cedera dan operasi lutut serta setelah enam bulan absen tak memainkan tenis.
Saat itu dia sudah lima tahun tak menjuarai satu pun turnamen Grand Slam.
Melawan Nadal yang enam kali berturut-turut mengalahkannya dalam berbagai turnamen Grand Slam, Federer yang saat itu berperingkat 17 dunia, dalam posisi underdog.
Saat itu banyak yang beranggapan masanya sudah berakhir dan untuk itu harus rela menyerahkan singgasana dominasi tenisnya kepada Nadal, Djokovic, dan Andy Murray.
Baca juga: Bukan prestasi, Federer justru bangga bisa mendapat keseimbangan hidup
Baca juga: Federer akan fokus habiskan waktu dengan keluarga setelah pensiun
Selanjutnya: Perjalanan Roger dari The One ke Big Three
Nadal memimpin 3-1 pada set kelima dalam final itu, sebelum Federer tiba-tiba bangkit untuk merampas lima gim terakhir guna menuntaskan kebangkitan yang akan selalu dikenang dalam sejarah tenis. Laga ini juga diwarnai sebuah reli panjang yang melibatkan 26 pukulan.
Federer pun menjadi petenis tertua kedua setelah Ken Rosewall yang mengangkat trofi tunggal putra Grand Slam yang juga trofi Grand Slamnya yang ke-18 dan sekaligus melontarkan dia menjadi petenis paling kaya di dunia saat itu.
The One ke Big Three
Sejak berulang kali menjuarai turnamen Grand Slam, Federer mulai mendominasi tenis seorang diri. Dia menjadi The One.
Dia melampaui 14 gelar Grand Slam yang dikumpulkan Pete Sampras yang saat itu membuat dunia terperangah.
Sejak 2004 sampai 2008, Federer amat menghegemoni tenis.
Dia lima kali berturut-turut menjuarai Wimbledon dan US Open, masing-masing dari 2003 sampai 2007 dan dari 2004 sampai 2008.
Pada 2004, 2006 dan 2007, Federer merebut tiga dari empat Grand Slam dalam tiga tahun tersebut.
Tetapi singgasananya terusik manakala Nadal dan kemudian Djokovic juga mulai menjadi kampiun dalam Wimbledon dan US Open.
Sejak itu lanskap tunggal putra tenis pun berubah. Federer tak lagi menjadi The One, tetapi menjadi salah satu Big Two, dan kemudian salah satu dari Big Three, sampai pensiun.
Hingga usia 27 tahun, Federer sudah mengoleksi 13 gelar juara Grand Slam.
Setelah Australian Open 2017, Federer menjuarai lagi dua turnamen Grand Slam, yakni Wimbledon yang membuatnya total mengumpulkan delapan trofi turnamen Slam lapangan rumput ini, dan Australian Open 2018 yang merupakan trofi Grand Slam terakhir yang diraihnya.
Sudah 24 tahun Federer menjelajahi arena tenis untuk memainkan lebih dari 1.500 pertandingan.
Dia hampir tak pernah menyerah karena cedera, sampai usianya menginjak 41 tahun ketika dia merasa sudah tiba waktunya meninggalkan tenis.
"Saya sudah berusaha keras untuk sepenuhnya kembali ke bentuk permainan kompetitif saya,” kata Federer melalui Twitter belum lama ini.
"Namun saya juga tahu kapasitas dan batas kemampuan tubuh saya, dan pesannya kepada saya cukup jelas (bahwa saya harus gantung raket)."
Terima kasih Roger Federer.
Baca juga: Meski akan gantung raket Federer ingin tetap dekat dengan tenis
Baca juga: Nadal merasa aneh tampil di Wimbledon tanpa kehadiran Federer
Baca juga: Djokovic turut kenang momen dan persaingan dengan Federer
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2022