Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengikuti jejak Menko Airlangga untuk menyalami sekitar 20 delegasi yang hadir. Sementara Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, yang sudah menyambut kedatangan delegasi di malam sebelumnya, bersiap duduk di meja tuan rumah, sejajar dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Di ruang besar pertemuan, hiasan janur khas Pulau Dewata bertengger di setiap sudutnya. Alunan gamelan degung Bali, serta senyum dan sapa para menteri yang menunjukkan keramahtamahan membuat suasana Indonesia sebagai tuan rumah TIIMM G20 kental terasa.
Perundingan berlangsung secara tertutup, seluruh media yang hadir, diminta menunggu di ruangan lain untuk kemudian mengikuti konferensi pers para menteri terkait hasil dari pertemuan tersebut.
TIIMM G20 pada 23 September 2022, digelar setelah Trade Investment and Industry Working Group (TIIWG) G20, di mana pembahasan substansi di tingkat eselon I dilakukan. Pada TIIwG G20, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Berdagangan Djatmiko Bris Witjaksono menjadi ketuanya.
Setelah tiga jam menunggu, akhirnya media diminta bersiap di lokasi konferensi pers. Terlihat dua podium dipersiapkan untuk ditempati Mendag Zulkifli Hasan dan Menteri Bahlil sebagai perwakilan tiga sektor, yakni perdagangan, investasi, dan perindustrian, untuk menyampaikan hasil-hasil yang diperoleh.
Capaian
Mendag memulai konferensi pers dan menyampaikan bahwa TIIMM G20 menghasilkan sejumlah capaian konkret. Pertama, soal reformasi badan perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), di mana negara G20 menegaskan pentingnya memperkuat prinsip dasar WTO serta sepakat bahwa reformasi WTO adalah kunci untuk memperkuat kepercayaan dalam sistem perdagangan multilateral.
Negara anggota juga berkomitmen memanfaatkan momentum positif hasil konferensi tingkat menteri ke-12 lalu untuk terlibat dalam diskusi aktif dan konstruktif menuju konferensi tingkat menteri WTO ke-13.
Kedua, peran sistem perdagangan multilateral dalam memperkuat agenda target pembangunan berkelanjutan, di mana anggota G20 sepakat atas pentingnya sistem perdagangan multilateral dalam mendorong tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG's.
Ketiga, respons perdagangan investasi dan industri dalam mengatasi pandemi dan mendukung arsitektur kesehatan global, yakni negara G20 menyepakati pentingnya peran sistem perdagangan multilateral untuk meningkatkan ketahanan dari pandemi dan arsitektur kesehatan global, termasuk menegaskan dukungan atas hasil yang dicapai dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-12 lalu.
Keempat, perdagangan digital dan rantai nilai global. Negara anggota G20 menegaskan bahwa rantai nilai global berperan penting dalam mendorong partisipasi negara berkembang khususnya bagi UMKM perempuan dan wirausaha muda ke dalam perdagangan global. G20 juga sepakat mendorong perdagangan digital yang inklusif.
Kelima, peningkatan investasi berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi global. Dalam hal ini, negara G20 menggarisbawahi pentingnya investasi berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi yang kuat.
Terakhir, koherensi antara perdagangan, investasi dan industri, di mana anggota G20 menegaskan peran sistem perdagangan multilateral untuk mengembalikan produktivitas industri dan menyepakati koherensi kebijakan perdagangan dan investasi dengan kebijakan industri untuk mengatasi tantangan di masa depan.
Selanjutnya, giliran Menteri Bahlil menyampaikan capaian di sektor investasi. Bahlil melaporkan, sektor investasi menghasilkan satu konsensus berupa Bali Compendium dari pertemuan TIIMM G20.
Bali Compendium adalah panduan penting bagi perumusan strategi dan arah kebijakan investasi serta promosi investasi di masing-masing negara.
Indonesia berpandangan, setiap negara harus mempunyai keleluasaan untuk menyusun strateginya dengan pendekatan komparatif di negaranya.
Bali Compendium disebut sebagai warisan dari pertemuan tersebut, di mana Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan adalah ketuanya. Hal itu juga dinilai sebagai langkah maju yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mendorong investasi berkelanjutan yang inklusif.
Keleluasaan kebijakan investasi tersebut termasuk soal hilirisasi, dan sektor prioritas mana yang ditentukan suatu negara dalam hal investasi, agar tidak ada intervensi.
Terdapat lima poin yang Indonesia perjuangkan dalam G20 TIIMM sejak awal. Pertama, soal arus investasi berkelanjutan bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi dan tujuan pembangunan lainnya.
Menurut Bahlil, dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan antara anggota-anggota negara G20 dalam mendiskusikan hilirisasi, menemui tantangan yang sangat luar biasa, yang kemudian mengaitkannya dengan isu energi bersih (green energy ) dan industri hijau (green industry). Bahlil bersyukur perdebatan itu mampu diselesaikan dan disetujui.
Kedua, soal pemangkasan prosedur investasi bagi negara-negara G20, di mana banyak negara anggota G20 menyatakan betapa pentingnya pemangkasan terhadap birokrasi yang bertele-tele dan tidak transparan.
Dalam hal ini, Indonesia patut menjadi contoh karena berhasil menyederhanakan aturan dengan memangkas 79 Undang-Undang dalam membuat UU Cipta Kerja.
Selanjutnya, kesepakatan soal investasi yang masuk harus berkolaborasi dengan pengusaha lokal atau UMKM.
Menurut Bahlil, isu tersebut juga menjadi tantangan besar untuk bisa disepakati, karena sebagian negara berpendapat bahwa proses tersebut diserahkan melalui mekanisme pasar.
Namun, negara-negara berkembang mampu meyakinkan untuk menjadikan hal itu sebagai konsensus, sekaligus menjadikan pengusaha UMKM dan pengusaha daerah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Berikutnya adalah tentang keadilan investasi, di mana 80 persen Growth Domestic Product (GDP) global dikuasai oleh negara G20, tapi penyebaran investasinya tidak merata.
Namun, Bahlil menambahkan bahwa perjuangan Indonesia mengenai harga karbon tidak mencapai kesepakatan. Tetapi para anggota G20 menyetujui bahwa keadilan investasi dan pemerataan harus dilakukan.
Perundingan
Di akhir penutupan konferensi pers, Zulkifli menyampaikan pernyataan bahwa perhelatan TIIMM G20 tidak mencapai konsensus, karena terdapat satu paragraf yang tidak disepakati. Sementara 26 paragraf lainnya berhasil disepakati. Satu paragraf tersebut yakni soal isu geopolitik yang mencuat di tengah pembahasan sektor perdagangan, investasi, dan industri. Selanjutnya,
Dirjen PII, Djatmiko Bris Witjaksono, lebih lanjut memaparkan, Presidensi G20 Indonesia berada di saat-saat yang sangat sulit. Selain dampak pandemi COVID-19 yang masih terjadi, terdapat urusan keamanan dunia yang faktanya berimbas kemana-mana.
Situasi sulit yang sama terjadi saat awal Forum G20 terbentuk, yakni pada masa krisis moneter 1998-1999. Jika dalam kondisi normal, situasinya lebih mudah, maka pandemi COVID-19 dan kondisi geopolitik menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Usulan pembahasan isu geopolitik tidak datang dari Indonesia, melainkan dari negara-negara G7, yakni Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Inggris.
Indonesia sebetulnya berkeinginan untuk lebih fokus membahas soal perdagangan, investasi, dan industri untuk bersama-sama bangkit dari dampak pandemi. Namun, negara-negara G7 memandang bahwa perekonomian global bergejolak akibat pandemi COVID-19, yang diperburuk oleh perang Rusia-Ukraina.
Sebagai tuan rumah, RI bisa saja menolak pembahasan itu, namun Indonesia ingin menunjukkan kepemimpinan yang arif, sehingga berupaya untuk mengakomodir masukan tersebut dengan tetap melakukan pembahasan.
Djatmiko menggambarkan, pembahasan kala itu berada pada situasi menantang, kental terasa saling curiga, bahkan bermusuhan, antara negara-negara anggota G20 yang pro dan kontra dengan invasi Rusia terhadap Ukraina.
Negara-negara yang kontra terhadap invasi tersebut memandang bahwa disrupsi yang terjadi adalah karena perang, sehingga apa yang dilakukan Rusia perlu dikecam. Sementara Rusia sendiri memandang bahwa invasi semakin lama terjadi karena sanksi-sanksi yang dijatuhkan Barat.
Terlihat gap yang sangat besar dan Indonesia berusaha untuk mendekatkan gap tersebut dengan memberikan berbagai masukan, termasuk berhenti perang. Jawaban yang sederhana, namun sulit terjadi. Pembahasan kian jauh dari isu perekonomian. Namun, sebagai pemimpin dari 20 kekuatan ekonomi dunia pada forum itu, Indonesia berusaha membawa perundingan pada jalurnya.
Indonesia mendorong seluruh komponen di dunia untuk mengedepankan kebersamaan lewat tema "Recover Together, Recover Stronger".
Selain pembahasan soal geopolitik, pencapaian kesepakatan substansi perdagangan, investasi, dan perindustrian juga tak kalah alotnya. Pada Forum TIIWG selama dua hari yakni Senin-Rabu (19-21 September 2022), Djatmiko memanggil delegasi di setiap kesempatan untuk melakukan pembahasan. Namun, hingga di hari terakhir, tak satu paragraf pun disepakati atau masih berstatus merah.
Rapat dilanjutkan hingga Rabu pagi. Beberapa paragraf mulai berstatus hijau. Hingga pembahasan soal investasi selesai terlebih dahulu. Sebagai tuan rumah, Djatmiko berupaya mengawal enam kepentingan Indonesia, dan pembahasan isu perdagangan ternyata jauh lebih alot dari lainnya.
Hingga sesaat sebelum pertemuan para menteri digelar, 26 paragraf berstatus hijau. Hanya satu paragraf yang tidak berhasil dicapai, yakni terkait isu geopolitik. Sehingga TIIMM G20 tidak mencapai konsensus. Indonesia menerima dengan lapang dada hal itu, karena telah berupaya keras dan menyadari ada di situasi yang menantang.
Djatmiko menganggap, tiga hal yang ingin dicapai dari perhelatan tersebut yakni sukses substansi, sukses menjadi tuan rumah, dan sukses publikasi, dapat tercapai. Hal itu tercermin dari apa yang dilakukan Indonesia sebagai tuan rumah, di mana seluruh delegasi menyampaikan apresiasinya kepada Mendag Zulkifli Hasan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di depan mata. Meskipun masih berada pada situasi tak mudah, Indonesia percaya bahwa dengan kepemimpinannya, kesuksesan akan diraih bersama.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022