Apalagi FAO bukan lembaga abal-abal yang asal menyampaikan proyeksi tanpa riset yang serius. Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) ini jelas-jelas adalah organisasi internasional yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan pertanian. Kantornya berpusar di Roma, Italia, dan didirikan 16 Oktober 1945 di Kota Quebec, Kanada.
Hal itu yang membuat dunia semakin ketar-ketir mengingat tanda-tanda ke arah krisis pangan pun mulai menunjukkan indikatornya.
Beberapa produsen pangan dunia, kini mulai mengatur ulang tata kelola perdagangan mereka dengan mengutamakan terlebih dahulu kepentingan domestiknya.
Yang sudah mengemuka adalah kebijakan yang diambil oleh India dengan menghentikan sementara ekspor gandum mereka.
Langkah semacam itu, boleh jadi akan diikuti oleh produsen pangan dunia lain, seperti Vietnam atau Thailand, yang selama ini dikenal sebagai eksportir beras terbesar di dunia.
Mereka ancang-ancang mengerem ekspor demi memenuhi kebutuhan warga masyarakatnya terlebih dahulu.
Kebijakan mengerem ekspor bahan pangan oleh produsen pangan kelas dunia ini, tentu saja membuat banyak negara yang untuk pemenuhan bahan pangan strategisnya masih mengandalkan impor, perlu berpikir keras dan cerdas, sekiranya impor bahan pangan betul-betul tertutup. Lalu, dari mana mereka akan mencukupi kebutuhan pangannya?
Itu pula yang terjadi dengan Indonesia. Sebagai negeri agraris, bangsa ini boleh bangga dan mengaku keren atas kisah sukses meraih status swasembada beras.
Namun begitu, untuk komoditas bahan pangan strategis lain, nyatanya Indonesia masih mengalami defisit. Pemerintah sendiri mengakui setidaknya ada empat jenis pangan yang pemenuhannya masih harus diimpor.
Keempat komoditas tersebut adalah kedelai, daging sapi, bawang putih dan gula pasir. Sekali pun sudah diupayakan agar bangsa ini mampu mewujudkan swasembada untuk keempat jenis bahan pangan tersebut, sepertinya usaha yang ditempuh masih belum mencapai hasil yang diharapkan.
Istilah swasembada untuk keempat bahan pangan ini, masih perlu terus diperjuangkan.
Menanti Kiprah
Memetakan persoalan dan masih belum berhasilnya swasembada untuk sejumlah komoditas masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia.
Semua seperti tidak tahu dengan pasti, mengapa seperti begitu sulit untuk mewujudkan swasembada kedelai, swasembada daging, swasembada bawang putih, dan swasembada gula.
Pemerintah tidak tinggal diam, bahkan mengalokasikan anggaran secara khusus untuk program-program menuju kedaulatan dan swasembada pangan. Bahkan berbagai riset dan kajian dilakukan untuk melahirkan inovasi dan teknologi yang diharapkan bisa menjawab tantangan dan menjadi solusi.
Bahkan penelitian dan percobaan terekam hampir tidak pernah berhenti. Para peneliti dan pemulia tanaman tak bosan-bosannya terus mengembangkan ikhtiar untuk memberi hasil terbaik bagi bangsa dan negeri tercinta.
Para petani pun terus dicerahkan oleh para penyuluh pertanian agar semakin pintar dalam menerima kehadiran hal-hal baru dalam usaha tani yang digarapnya.
Sayang, semua upaya dan langkah yang ditempuh untuk pencapaian swasembada kedelai belum mencapai tingkat optimalnya sampai kini. Impor kedelai masih terus berlangsung, bahkan dalam waktu belakangan ini impor kedelai tampil sebagai kebutuhan yang harus dilakukan, mengingat keterbatasan para petani kedelai dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pasar lokal.
Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar yang memerlukan kepedulian semua pihak untuk turut serta berperan untuk mencari solusi terbaik menuju swasembada empat komoditas pangan.
Pangan menentukan
Pangan, bisa jadi mengemuka menjadi masalah krusial dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sekiranya tidak digarap dengan sungguh-sungguh.
Apalagi bila dikaitkan dengan pandangan Proklamator Bangsa Indonesia Bung Karno yang menyatakan pangan adalah mati-hidupnya suatu bangsa. Pangan merupakan sumber kehidupan dan penghidupan terbesar bangsa ini.
Itu sebabnya, semua elemen bangsa tidak boleh bermain-main dengan urusan pangan, karena pangan tidak untuk dipermainkan.
Sekali saja bangsa ini keliru menerapkan kebijakan pangan, maka yang akan menanggung beban di kemudian hari adalah anak cucu sendiri kelak. Dengan kata lain, kondisi defisit pangan yang ada dalam genggaman harus secepatnya digantikan dengan surplus pangan.
Akan tetapi semua pihak juga sadar. Berkaca kepada pengalaman yang dialami, kehendak untuk mengubah posisi dari defisit pangan menjadi surplus pangan, tidaklah semudah membolak-balik telapak pangan atau seperti bermain "hom pim pah".
Untuk mewujudkannya, diperlukan banyak kebijakan, strategi, program dan kegiatan yang berkualitas. Surplus pangan bagi 4 komoditas pangan masih memerlukan kerja keras bersama.
Hadirnya Perpres 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, diharapkan mampu memberi aura baru bagi pembangunan pangan di negeri ini.
Dengan kewenangan yang digenggam, Badan Pangan Nasional, mestinya tandang sebagai prime mover dalam menggeser posisi defisit pangan ke arah surplus pangan. Pertanyaan mendasarnya mampukah Badan Pangan Nasional mewujudkannya?
Badan Pangan Nasional, sepantasnya berkiprah dalam hal-hal yang sifatnya strategis, bukan hanya melibatkan diri kepada hal-hal yang sifatnya teknis.
Selain itu, Badan Pangan Nasional, perlu menjadi "kawah candradimuka" bagi pengelolaan pangan yang berkualitas, sehingga mampu membuahkan terobosan cerdas.
Di situlah sesungguhnya keberadaan Badan Pangan Nasional dalam mengemban 11 fungsi yang dibebankannya. Ia juga harus disokong oleh seluruh elemen bangsa ini untuk mewujudkan tujuannya. Sebab urusan pangan adalah tanggung jawab semua.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Pewarta: Entang Sastraatmadja*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022