• Beranda
  • Berita
  • MK kabulkan seluruh gugatan Perludem soal badan peradilan pilkada

MK kabulkan seluruh gugatan Perludem soal badan peradilan pilkada

29 September 2022 18:56 WIB
MK kabulkan seluruh gugatan Perludem soal badan peradilan pilkada
Tangkapan layar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 di Jakarta, Kamis (29-9-2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya

MK menilai seluruh dalil pemohon beralasan menurut hukum.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh gugatan dengan pemohon Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai pengujian materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait dengan badan peradilan khusus yang menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan frasa 'sampai dibentuknya badan peradilan khusus' dalam Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 di Jakarta, Kamis.

Selanjutnya, kata Anwar, MK pun menyatakan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta memerintahkan agar putusan tersebut dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Adapun pengujian UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU (Undang-Undang Pilkada) itu diajukan oleh Perludem yang diwakili Direktur Eksekutif Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irma Lidarti selaku pemohon.

Dalam pokok permohonan, pemohon memohon pada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU No. 10/2016 yang berbunyi "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi".

Selanjutnya, pemohon juga memohon pada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (2) UU No. 10/2016 yang berbunyi "badan peradilan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak secara nasional" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, pemohon memohon pada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (3) UU No. 10/2016 yang berbunyi "perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Hal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan".

Menanggapi tiga permohonan itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa MK menilai seluruh dalil pemohon beralasan menurut hukum sehingga hakim mengabulkan seluruh dalil itu.

Baca juga: Badan peradilan khusus seharusnya dibentuk sebelum Pilkada 2024
Baca juga: Pegiat pemilu: Perlu revisi UU Pilkada terkait badan peradilan khusus

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022