"Awalnya ada dua orang Kader JKN, termasuk saya yang pegang wilayah Kecamatan Gabus, tetapi satu orang kader kemudian mengundurkan diri," kata Sri Dayanti melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.
Perempuan berusia 48 itu merupakan warga Dusun Tanjungsari, Desa Tlogotirto, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan. Ia merasa senang menjadi Kader JKN sebagai perpanjangan tangan BPJS Kesehatan dengan masyarakat.
Baca juga: BPJS Kesehatan cek efektivitas kader JKN-KIS
Sebagai satu-satunya kader JKN di 14 desa, Kecamatan Gabus sejak 2019, ia harus membagi waktu dengan profesinya sebagai Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Dusun Tanjungsari.
"Sekarang saya memegang seluruh desa yang ada di Kecamatan Gabus, yaitu Banjarejo, Bendoharjo, Gabus, Kalipang, Karangrejo, Keyongan, Nglinduk, Pandanharum, Pelem, Sulursari, Suwatu, Tahunan, Tlogotirto, dan Tunggulrejo,” katanya.
Sebagai Kader JKN, Sri bertugas melakukan kunjungan dan edukasi kepada peserta sekaligus mengingatkan tunggakan iuran peserta, hingga memastikan pembayaran iuran.
"Kebanyakan masyarakat desa itu mendaftar Program JKN karena ikut-ikutan teman saja. Ada juga yang mendaftar untuk syarat naik haji," katanya.
Sri pernah menemukan peserta yang mendaftar hanya untuk persiapan melahirkan. "Banyak peserta yang saya temui umumnya mereka menunggak, karena tidak tahu jika iuran JKN harus dibayar setiap bulan," katanya.
Menurut Sri, pengetahuan orang desa itu terbatas. Sehingga, kerap salah kaprah, memahami tanggung jawab peserta dalam bergotong royong membiayai layanan kesehatan melalui program JKN.
"Biasanya ada (oknum) yang memberi tahu jika kepesertaan JKN tidak dibayar nanti akan hilang sendiri. Mereka pun kaget ketika disodori tunggakan iuran yang jumlahnya tidak sedikit," katanya.
Baca juga: BPJS Kesehatan: JKN sebagai kepedulian badan usaha kepada pekerja
Menurutnya, saat menemui masyarakat desa yang menunggak iuran JKN, justru dari kalangan menengah ke atas yang sulit diedukasi.
Ia sering bertemu orang-orang golongan mampu yang menunggak, tetapi dia tidak mau bayar. Alasannya tidak mau ribet, karena harus memakai rujukan dan lain sebagainya.
"Pernah suatu kali, saya menemui seorang warga yang sudah cukup sepuh. Meski telah menggunakan atribut kader JKN, warga tersebut salah paham, dikira saya minta-minta uang dan salah mengira saya sebagai penagih hutang, bahkan sampai mengancam saya," katanya.
Pengalaman pribadi yang mengantarkan Sri menjadi sosok yang menyadari pentingnya memiliki JKN. Sebelum suaminya meninggal dunia awal Januari 2021, Sri sangat mengandalkan Kartu JKN untuk pengobatan sang suami.
"Suami sakit diabetes dan berulang kali dirawat. Sampai menjalani operasi besar dan semua itu saya tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Semua ditanggung JKN," katanya.
Sayangnya, kata Sri, setelah suami meninggal, ia tidak tahu jika Kartu JKN yang saat itu terdaftar di kelas dua otomatis dihentikan.
Semasa hidup, suami Sri berprofesi sebagai perangkat desa, sehingga otomatis iuran JKN-nya dipotong dari gaji.
Baca juga: Warga Gorontalo merasakan manfaat jadi peserta JKN-KIS
Baca juga: Kemenkes tingkatkan layanan JKN untuk tindakan penyakit katastropik
Ia merasa berat jika harus membayar untuk kelas dua, akhirnya berniat mengurus untuk turun ke kelas tiga. Tetapi, justru diberi tahu kalau status kepesertaan JKN-nya tidak aktif.
Setelah bolak-balik untuk mengaktifkan JKN kelas tiga, Sri ternyata terdaftar sebagai Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK).
"Alhamdulillah, akhirnya saya mengajukan PBI JK. Harapan saya badan sehat terus jadi tidak perlu berobat. Tapi sungguh, tidak punya jaminan kesehatan itu tidak enak," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022