Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan pengembangan ekonomi biru melalui restorasi mangrove harus melibatkan masyarakat lokal dan menyelaraskan kepentingan ekonomi lokal.Ekonomi biru menjadi ruang untuk menciptakan inovasi
"Keterlibatan ini harus berkelanjutan,"
kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto dalam diskusi bertajuk restorasi mangrove sebagai solusi perubahan iklim nasional di Jakarta, Jumat.
Hal ini untuk memastikan partisipasi, menumbuhkan rasa memiliki, dan memberdayakan masyarakat untuk kelestarian keanekaragaman hayati laut, ekosistem laut dan pesisir, serta mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat pesisir, kata Agus Justiant.
Pemerintah mengarahkan kerangka pembangunan ekonomi untuk mengoptimalkan modal yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman sumber daya kelautan dan juga posisi Indonesia yang strategis secara politik dan ekonomi.
Pengelolaan sumber daya dan ekosistem kelautan diarahkan untuk dapat mengatasi tantangan degradasi pesisir dan sumber daya alam, perubahan iklim dan polusi laut, serta kerentanan sosial ekonomi masyarakat pesisir.
Baca juga: Puan Maharani apresiasi pengembangan ekonomi biru di Badung Bali
Baca juga: Riset Lab 45: Pola pengelolaan sumber daya jadi tantangan ekonomi biru
Agus menuturkan pengembangan ekonomi biru diharapkan dapat memperluas pemanfaatan peluang pengembangan aktivitas ekonomi bernilai tambah, seperti pariwisata berkualitas, pengembangan energi terbarukan, ekonomi sirkular, dan industri pengolahan berbasis sumber daya kelautan.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk melakukan pemulihan pasca pandemi COVID-19 dan mendorong transisi dari upaya ekstraktif menjadi penciptaan nilai tambah dan produktivitas.
"Ekonomi biru menjadi ruang untuk menciptakan inovasi dan kreativitas baru, baik sektor yang sudah ada maupun yang sedang berkembang, sehingga ekonomi biru dapat menjadi penggerak peningkatan kesejahteraan yang inklusif," ujar Agus.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa transisi Indonesia ke ekonomi biru menjadi model pengembangan industri berbasis kelautan yang berkelanjutan yang dapat mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor ekstraktif.
Penyusunan kerangka pembangunan ekonomi biru menerapkan pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif mengingat ekonomi biru ini meliputi berbagai sektor dan lintas pelaku.
"Pengembangan ekonomi biru membutuhkan sinergi antara aktor dan sektor agar dapat menangani berbagai peluang dan tantangan dalam mencapai keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir untuk menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan dan inklusif," terang Agus.
KLHK menyatakan ekosistem mangrove memiliki nilai karbon biru yang cukup tinggi dan berperan dalam mewujudkan target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi kebijakan prioritas dan kebutuhan dukungan kementerian terkait serta rekan kerja.
"Ekosistem mangrove dan restorasi penting dalam mendukung ketahanan wilayah pesisir dan mampu merumuskan langkah-langkah strategis dalam mewujudkan pasar karbon untuk ekosistem blue carbon dan juga untuk mendukung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030," pungkas Agus.
Berdasarkan data One Map Mangrove Indonesia yang digunakan sebagai pijakan kerja pemerintah Indonesia, areal mangrove di Indonesia mencakup luasan 3,3 juta hektare. Fakta itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekosistem mangrove terbesar di dunia.
Luasan hutan mangrove yang dimiliki Indonesia merupakan 20 persen dari total luasan mangrove dunia yang mencapai 16,53 juta hektare. Dari luasan mangrove tersebut diperkirakan kandungan karbon hutan mangrove empat sampai lima kali lebih besar dari penyimpanan karbon di hutan daratan.
Baca juga: Bappenas dorong Blue Financing untuk pembangunan Ekonomi Biru
Baca juga: Konsep ekonomi biru ciptakan pemerataan ekonomi perikanan nasional
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022