Mengulik kesadaran di balik Tragedi Kanjuruhan

2 Oktober 2022 14:26 WIB
Mengulik kesadaran di balik Tragedi Kanjuruhan
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc.
Di tengah meroketnya peringkat FIFA sepak bola nasional di tangan Shin Tae Yong (ke-152, 1033,90 poin), publik dikejutkan dengan kekerasan sepak bola Tanah Air yang menewaskan seratusan lebih orang di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Informasi duka ini terjadi saat subuh, tanggal 2 Oktober 2022. Ironisnya, duka sepak bola ini terjadi menjelang perayaan Hari Tanpa Kekerasan Internasional.

Pertanyaannya, apa yang salah dari sepak bola kita? Presiden Barca periode 2003-2010 Joan Laporta, ketika hadir di lapangan Atang Sutrisna, Cijantung, lima tahun lalu pernah berpesan bahwa membangun sepak bola itu adalah membangun sebuah kebudayaan.

Hadir ke Indonesia di Hari Ulang Tahun ke-65 Kopassus, Laporta selanjutnya berpesan, “Dalam opini saya, sepak bola bukan hanya cara menendang bola dan mempunyai pemain yang baik dengan talenta yang luar biasa. Sepak bola adalah budaya. Untuk mengembangkannya, kalian harus mengembangkan filosofi.”

Pesan mantan Presiden Barca ini tentu relevan untuk membaca tragedi Kanjuruhan khususnya, umumnya kekerasan pengiring yang sering terjadi di lapangan sepak bola nasional.


Menemukan Akar

Jika sepak bola dipahami berkaitan dengan budaya bangsa, adakah yang salah dalam kebudayaan Indonesia, khususnya pembudayaan sepak bola Tanah Air? Bukankah budaya masyarakat kita dikenal santun, ramah, toleransif, dan mengedepankan harmoni sosial? Mengapa di dunia sepak bola seakan budaya itu sirna tidak membekas, khususnya bagi pendukungnya?

Bagi saya, menggemari sepak bola, menonton sepak bola luar negeri misalnya, bisa menjadi tempat rekreasi: menemukan seni kolektivitas, melihat potret kehidupan yang utuh. Di dalamnya ada sejumlah nilai, seperti pentingnya sebuah etos, kedisiplinan, kerja keras, kebugaran, kerja sama, seni, dan spiritualitas yang tinggi; tidak saja para pemain, tetapi semua yang terlibat hingga para pemangku kepentingan pendukungnya.

Lalu, mengapa sepak bola kita sering lebih heboh soal kekerasan dibandingkan prestasinya? Sudah lama kekerasan diajarkan secara tidak langsung dalam kehidupan berbangsa. Kekerasan sosial menari-nari dalam ingatan bawah sadar masyarakat tanpa iluminasi penyadaran, mengapung-apung dalam imaji yang nyaris tidak terputus.

Berita positif dan negatif terkait kekerasan sama sekali tidak berimbang. Kekerasan seringkali dieksplorasi telanjang tanpa edukasi pengiring yang memadai. Barangkali informasi demikian bisa menjadi stimulus yang menyelinap di balik bawah sadar masyarakat pendukung bola.

Secara teori, akar kekerasan muncul dalam fenomena identifikasi diri manusia ke dikotomi "keakuan dan kekamuan", "kekitaan dan kemerekaan". Indentifikasi ini melahirkan permusuhan, sehingga berujung kekerasan. Pelaku kekerasan biasanya melakukan tindak kekerasan terhadap korban karena sebagai "sesama" manusia mereka lebih menonjolkan ke-aku-annya dan ke-kita-annya.

Dalam konteks kasus kekerasan yang terjadi di stadion Kanjuruhan yang menimbulkan kematian 127 orang (jumlahnya bisa bertambah), tentu tidak jauh dari logika keakuan dan kekitaan yang demikian. Pendukung Arema Fc fanatik berlebihan, sehingga berujung pada tindakan kerusuhan.

Wujud keakuan dan kekitaan demikian seringkali menjelma menjadi "fanatisme buta", keharusan menang dan ketaksiapan menerima kekalahan. Fatalnya, melupakan hakikat seni dan spiritualitas dari permainan sepak bola.

Dalam sepak bola ada seni permainan yang mendatangkan hiburan dan ketegangan, memancing egoisme dan solidaritas, menumbuhkan harapan dan kesenjangan realitas, serta pencarian identitas dan eksploritas diri. Semuanya seringkali berujung pada paradoks dan ironi.


Butuh Kesadaran

Dalam memaknai realitas sepak bola Tanah Air, mestinya siapa pun kita butuh kesadaran akan eksistensi olahraga dalam konteks yang universal. Baik itu pemain, ofisial, pemilik klub, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Di luar negeri, misalnya, sepak bola telah menjadi ikon bisnis, simbol profesionalitas, dan penanda kerekatan antarbangsa. Mengapa kondisi demikian berkejadian balik di Indonesia?

Begitu mudahnya penonton "terbakar" api emosi serupa daun-daun yang kering ketika jagonya kalah? Akankah ini puncak gunung es dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang secara makro terintimidasi oleh filosofi kekerasan? Filosofi kekerasan yang ditunggangi oleh berbagai kepentingan ego komunal, pribadi, lokalitas, hingga kepentingan lain, –macam perjudian—, yang kadang lebih kuat mengendalikannya. Sehingga penyimpangan mudah terjadi, seperti wasit yang kurang profesional dan pengaturan skor sebagaimana pernah mengemuka dalam sejarah sepak bola Tanah Air.

Lalu, bagaimana menyentuh kesadaran baru dalam mengembangkan sepak bola kita?

Pertama, perlunya kesadaran pendukung sepak bola untuk memahami bahwa sepak bola itu adalah sebuah seni kehidupan yang mengajarkan beragam nilai kehidupan. Ajaran tentang kebersamaan, kekuatan fisik, keterampilan, orkestrasi mental, realita seni permainan, dan puncaknnya sebuah ajaran spiritualitas yang sesungguhnya bisa menyadarkan akan pentingnya persatuan berbagai latar dan suku kebudayaan. Bukankah sepak bola itu netral?

Dalam perjalanan sejarah sepak bola dunia, seringkali ia merupakan ajaran spiritualitas. Adagium "Jangan-jangan Tuhan berumah di bola" pernah sangat populer, hingga budayawan macam Romo Sindunata dan Gus Dur pernah melontarkan joke demikian.

Fanatisme parsial pendukung klub sepak bola mesti mulai merefleksikan kembali tentang hakikat otentik dari keberadaan seni spiritualitas sepak bola.

Kedua, perlunya kesadaran pemilik klub membangun profesionalitas sepak bola yang mengedepankan filosofi humanitas di balik seni sepak bola. Sepak bola bukan sekadar soal menang-kalah, tetapi sebuah ajaran hidup tentang luasnya matra kebudayaan pembingkainya.

Kesadaran akan nilai kebudayaan yang melekat di balik sepak bola mestinya dioriantasikan sebagai nilai tertinggi, sehingga klub, ofisial, serta pemiliknya selalu berkesadaran dan berkeadaban.

Ketiga, pihak keamanan tak tertinggal diharapkan menempuh jalan kemanusiaan dalam mengawal sebuah pertandingan sepak bola. Apa yang dilakukan pihak keamanan dengan menyemprotkan gas air mata sesungguhnya dalam aturan FIFA terlarang.

Pendekatan "kekerasan" misalnya, sama sekali jauh dari filosofi sepak bola. Pilihan metode komunikasi dengan senantiasa menyosialisasikan hakikat sepak bola yang berkeadaban barangkali sebuah pintu bawah sadar dalam meminimalkan akar kekerasan instingtif.

Tetapi, panitia penyelenggara seringkali juga melanggar "kaidah keamanan" yang tertoleransi. Kabarnya toleransi penonton yang diisyaratkan kepolisian berjumlah 25.000 orang, tetapi realitanya lebih dari "kapasitas" keamanan.

Keempat, menciptakan aturan penyelenggaraan liga sepak bola yang transparan dan akuntabel, pemerintah hadir dengan meengendalikan kemungkinan berbagai akar kekerasan sosial secara makro, dengan tindakan yang "menghukum", tetapi mendidik atau "menghadiahi", tetapi tak melenakan.

Setiap pertandingan barangkali penting dipikirkan penghargaan fair play bagi penonton atau pendukung sebuah klub, bukan sekadar kepada pemain.

Kelima, pentingnya pembudayaan nilai kesadaran di balik sepak bola. Pemilik klub bersama tokoh masyarakat dan pejabat publik senantiasa mengingatkan bagaimana sepak bola tidak akan berarti jika olah jiwa di balik spiritualitas sepak bola tidak ditumbuhkan dan diteladankan.

Apa yang dipesankan Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam Pekan Seni dan Olah Raga Nasional (Pesona) I PTKIN, Agustus lalu, tentu menjadi sebuah contoh yang baik. Seni dan olahraga, kata Gus Yaqut, memiliki hubungan penting dengan nilai-nilai spiritual, termasuk meningkatkan keimanan kepada Tuhan.

Mari belajar keteladanan demikian dari para pemain Muslim sepak bola dunia, macam Mohammad Salah, Karim Benzema, Mezut Otzil, Sami Khedira, Frank Ribery, Zlatan Ibrahimovic, dan Shamir Nasri. Mereka tampak disiplin, memiliki komitmen, bertanggung jawab, berjiwa kolegial, dan memiliki kesadaran bekerja sama yang luar biasa, baik ketika bermain di klub maupun negaranya masing-masing. Dalam bulan puasa, misalnya, mereka tidak meninggalkan puasa dalam bermain.

Akhirnya, mari menjadi masyarakat bola yang pembelajar. Siapa pun kita dalam menikmati sepak bola senantiasa digerakkan oleh kesadaran hakiki tentang keberadaan sebuah seni olahraga yang sesungguhnya juga olah jiwa. Jiwa suci akan menjernihkan jiwa semua orang yang terkait pertandingan sepak bola.

Semoga tragedi kematian 127 orang di Kanjuruhan mejadi yang terakhir. Sebuah cermin retak yang dapat menggerakkan dan menyadarkan semua pihak.

*) Dr Sutejo, MHum adalah pecinta bola, budayawan, dan Ketua STKIP PGRI Ponorogo.

 

Pewarta: Dr Sutejo, MHum*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022