• Beranda
  • Berita
  • WTO: Pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan turun tajam pada 2023

WTO: Pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan turun tajam pada 2023

6 Oktober 2022 15:23 WIB
WTO: Pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan turun tajam pada 2023
Kesimpulan baru WTO memperkirakan produk domestik bruto (PDB) dunia pada nilai tukar pasar akan tumbuh sebesar 2,8 persen pada 2022, sementara pada 2023 akan tumbuh 2,3 persen atau 1,0 poin persentase lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Perdagangan dunia diperkirakan akan kehilangan momentum pada paruh kedua 2022 dan akan tetap lemah pada 2023, menyusul berbagai guncangan yang membebani ekonomi global, kata Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam pernyataannya pada Rabu (5/10).

Para ekonom WTO mengatakan dalam pernyataan tersebut bahwa volume perdagangan barang global akan tumbuh 3,5 persen pada 2022, sedikit lebih tinggi dari 3,0 persen yang diperkirakan pada April.

Namun, untuk 2023 mereka memperkirakan akan ada kenaikan 1,0 persen, yang berarti turun tajam dari perkiraan sebelumnya, yaitu 3,4 persen.

Kesimpulan baru WTO memperkirakan produk domestik bruto (PDB) dunia pada nilai tukar pasar akan tumbuh sebesar 2,8 persen pada 2022, sementara pada 2023 akan tumbuh 2,3 persen atau 1,0 poin persentase lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
 
   Dalam estimasi mereka pada April, para ekonom WTO harus mengandalkan simulasi untuk menghasilkan asumsi pertumbuhan yang masuk akal, mengingat konflik di Ukraina pada saat itu baru dimulai dan dampaknya belum diketahui.    


Namun, pada Rabu para ekonom WTO menyatakan perkiraan April untuk 2023 saat ini tampak terlalu optimistis. Sejak April, harga energi meroket, inflasi semakin meluas, dan konflik Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Para ekonom menjelaskan bahwa permintaan impor diperkirakan akan melemah, akibat melambatnya pertumbuhan di ekonomi-ekonomi besar karena berbagai alasan.

Lonjakan harga energi akibat konflik Rusia-Ukraina akan terus menekan pengeluaran rumah tangga dan meningkatkan biaya produksi di Eropa.

Sementara itu, pengetatan kebijakan moneter dilihat akan menghantam pengeluaran yang sensitif terhadap bunga (interest-sensitive spending) di berbagai bidang seperti perumahan, kendaraan bermotor, dan investasi tetap di Amerika Serikat.

Kenaikan biaya impor untuk bahan bakar, makanan, dan pupuk serta berpotensi menyebabkan kerawanan pangan dan tekanan utang di negara-negara berkembang.

"Para pembuat kebijakan dihadapkan pada pilihan sulit saat mencoba menemukan keseimbangan optimal antara mengatasi inflasi, mempertahankan lapangan kerja penuh (full employment), dan memajukan target-target kebijakan penting seperti transisi ke energi bersih," kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala.

"Perdagangan merupakan instrumen penting untuk meningkatkan suplai barang dan jasa global, serta menurunkan biaya untuk mencapai emisi karbon net zero," lanjutnya.
 
   "Meskipun pembatasan perdagangan merupakan respons yang menggiurkan untuk mengatasi kerentanan pasokan yang diekspos oleh berbagai guncangan selama dua tahun terakhir ini, penghematan rantai pasokan global hanya akan memperdalam tekanan inflasi, memicu laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan penurunan standar hidup seiring berjalannya waktu," tutur Okonjo-Iweala.  Selesa



 

Pewarta: Xinhua
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022