Baca juga: Pentingnya mengenal Dukungan Psikologis Awal, P3K versi luka mental
Psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada Zahrah Nabila Putri mengatakan mengapresiasi diri sendiri dengan self-healing sesuai dengan hal yang disukai adalah hal yang wajar namun harus diimbangi dengan refleksi diri, apakah self-healing tersebut bermanfaat bagi diri sendiri.
"Mungkin kita sudah terjebak dengan istilah ini, namun, kita perlu tahu basic needs kita dengan coba tanya ke diri sendiri, apakah self-healing itu bentuk kita untuk melarikan diri dan mengalihkan perhatian kita dari masalah, atau benar-benar bisa menjadi support system untuk atasi burnt-out kita," kata Zahrah kepada ANTARA, Senin.
"Ketika kita paham kalau self-healing bisa untuk dijadikan dukungan dari diri untuk menghadapi burnt-out, harapannya tentu kegiatan itu bisa menjadi support. Bicara soal batasan, itu adalah pertanyaan untuk diri sendiri, apakah kita menerima atau menolak (gagasan itu) untuk menghadapi stres kita," ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, self-healing biasanya beriringan dengan adanya burnt-out -- rasa lelah dan kewalahan dengan banyaknya tuntutan pekerjaan atau lainnya. Menurut Zahrah, burnt-out yang hadir seiring dengan tren hustle culture di kalangan anak muda ini terjadi karena paparan informasi yang begitu banyak dan cepat, ditambah dengan sifat alami manusia yang kompetitif.
Baca juga: Psikolog: Penyintas insiden yang trauma sebaiknya diberi pendampingan
Namun, lanjut dia, setiap orang memiliki fondasi yang berbeda: ada yang sudah cukup kuat, dan ada pula yang masih berusaha membangun pijakannya. Dengan paparan informasi yang cepat, tentu akan banyak "serangan" yang menggoda di dalam proses tersebut.
"Di sini, diperlukan jeda informasi. Bagi mereka yang merasa fondasinya belum cukup kuat dan dipaksa kerja keras, itu bisa berpengaruh ke kondisi mentalnya. Dukungan tiap orang pun berbeda-beda, dan itu menjadi perjalanan mereka masing-masing," ujar Zahrah.
Sehingga, penting bagi setiap individu untuk mau mengakui ketika mereka sudah tidak kuat dan mampu menangani berbagai hal tersebut. Adapun beberapa tanda yang bisa disadari, beberapa di antaranya adalah kehilangan rasa sukacita saat bekerja, merasa pekerjaan adalah beban yang luar biasa, hingga merasa bekerja seperti layaknya sebuah "robot".
"Kita perlu mengakui kalau kita merasa burnt-out. Yang perlu dilakukan adalah melihat tiga sisi kita yaitu dari sisi emosional, fisik, dan pikiran. Manakah burnt-out yang paling menyerang dari ketiga hal itu. Dari situ, kita bisa coba release dengan berbagai hal yang sesuai seperti olahraga, meditasi, journalling, dan lainnya," kata Zahrah.
Baca juga: Psikolog ungkap perlunya menerima emosi negatif
Baca juga: "Skincare" saja tak cukup, jaga kesehatan mental demi kulit "glowing"
Baca juga: Psikolog rekomendasikan sekolah wujudkan lingkungan sehat mental
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022