• Beranda
  • Berita
  • Psikiater: Kenali gejala hingga cara hadapi kecemasan sosial

Psikiater: Kenali gejala hingga cara hadapi kecemasan sosial

10 Oktober 2022 17:42 WIB
Psikiater: Kenali gejala hingga cara hadapi kecemasan sosial
Ilustrasi seseorang yang tengah mengalami kecemasan sosial. (ANTARA/Pexels)

Gejalanya yang biasa terjadi memang itu mempengaruhi seluruh fisik. Dia akan berdebar, berkeringat, menarik diri

Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Endah Ronawulan, Sp.KJ menyebutkan sejumlah gejala hingga cara dapat dilakukan secara mandiri saat seseorang menghadapi gangguan kecemasan sosial.

Ia menjelaskan bahwa kecemasan sosial atau fobia sosial merupakan gangguan kesehatan mental yang ringan yang muncul ketika seseorang berinteraksi sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kondisi tersebut, penderita merasa dirinya diperhatikan atau menjadi pusat perhatian banyak orang.

“Gejalanya yang biasa terjadi memang itu mempengaruhi seluruh fisik. Dia akan berdebar, berkeringat, menarik diri. Dia berusaha melawannya dengan keras dan akan berkeringat, gemetar, bicara agak terbata-bata,” kata dokter lulusan Spesialis Kesehatan Jiwa dari Universitas Indonesia itu dalam acara bincang virtual yang diikuti di Jakarta, Senin.

Yang terburuk, kata Endah, seseorang yang mengalami kecemasan sosial dapat menarik diri dari lingkungan sekitar sehingga berdampak pada terganggunya fungsi untuk bersosialisasi hingga terhambatnya aktivitas profesional.

Ia mengatakan kondisi kecemasan sosial dapat berubah menjadi berbahaya apabila penderita tidak mampu mengendalikan kepanikan serta tidak mampu fokus dan tidak bisa mengontrol terhadap apa yang dilakukan.

Baca juga: Psikiater: Hari Kesehatan Jiwa Sedunia momen edukasi kesehatan mental

Baca juga: Psikiater: Jangan komunikasi dengan pasangan saat emosi tidak baik


Untuk mengatasi kecemasan sosial, Endah menganjurkan penderita agar melatih dan melakukan hal-hal sederhana, dimulai dari membuat diri sendiri menjadi rileks. Ketika berbicara dengan lawan bicara, usahakan untuk mengatur napas secara perlahan.

“Itu (mengatur napas) dengan sendirinya kondisi keluhan fisiknya lebih stabil, jantung berdebarnya lebih perlahan turun. Membuat dia tenang dan rileks, dan dia bisa berkomunikasi,” kata Endah.

Selanjutnya, Endah juga merekomendasikan agar penderita melatih dirinya untuk berpikir positif. Biasanya penderita diliputi oleh pikiran yang menghakimi dirinya sendiri seperti merasa tidak mampu, merasa tidak bermanfaat, hingga merasa tidak disenangi oleh teman-teman.

“Coba arahkan ke yang positif. Tidak apa-apa, tidak semua orang juga dicintai. Dan anggap saja kamu tidak harus dicintai dan kamu usahakan dengan orang ini belajar untuk bersosialisasi jadi bisa bersosialisasi lebih baik lagi,” katanya.

Ketika berinteraksi dengan lawan bicara, Endah menyarankan agar penderita tidak berfokus pada diri sendiri melainkan alihkan fokus pada lawan bicara dengan melibatkan seluruh panca indera.

“Misalkan saat berhadapan dengan lawan bicara, perhatikan warna hijabnya, warnanya seperti apa, gerak-geriknya, sehingga dia lupa dengan dirinya akhirnya fokus ke orang lain bukan diri sendiri. Sehingga kecemasan terhadap sosial itu berkurang secara bertahap,” ujar Endah.

Selain itu, hilangkan gestur tubuh menutup diri dari pertemanan seperti terlalu banyak menunduk. Kemudian, usahakan untuk melatih pembukaan diri ke arah sosial misalnya menyapa orang lain. Selain itu, bukalah pembicaraan tentang kehidupan sehari-hari yang sederhana sehingga tidak membebani orang lain.

Endah mengatakan jika penderita merasa langkah-langkah tersebut cukup berat untuk dilakukan dan sulit untuk keluar dari zona nyaman, maka dianjurkan untuk mencari pertolongan dengan berkonsultasi kepada profesional seperti psikolog atau psikiater.

Di pihak lain, apabila orang terdekat mengalami gejala-gejala kecemasan sosial, Endah mengajak agar masyarakat dapat memposisikan diri dengan penderita dan mendengarkan keluhan yang dialami penderita, hingga membujuknya untuk datang ke profesional jika membutuhkan bantuan.

“Usahakan kita menjadi pendengar dulu yang baik sehingga kita berikan pandangan, seperti ‘ketika Anda mengalami gangguan banyak kerugiannya, jika bandingkan dengan sebelum mengalami gangguan’,” katanya.

Baca juga: Psikiater tekankan pentingnya deteksi dini gejala depresi

Baca juga: Psikiater: Sehat jiwa bukan hanya tentang perasaan bahagia

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022