• Beranda
  • Berita
  • Kemenkes perbanyak prodi spesialis untuk pemerataan dokter bedah

Kemenkes perbanyak prodi spesialis untuk pemerataan dokter bedah

11 Oktober 2022 19:26 WIB
Kemenkes perbanyak prodi spesialis untuk pemerataan dokter bedah
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin dalam acara Google for Indonesia 2021 yang dihelat daring pada Kamis (2/12/2021). (ANTARA/TL/Arnidhya Nur Zhafira/pri).
Kementerian Kesehatan memperbanyak program studi (prodi) spesialis di fakultas kedokteran perguruan tinggi swasta dan negeri untuk memenuhi pemerataan dokter bedah di seluruh daerah.

"Jumlah dokter spesialis bedah saat ini masih sangat minim. Persebarannya pun belum merata, masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara Prevensi Stroke Campaign, Special 3D Cinema Lecture yang digelar Perhimpunan Spesialis Bedah Syaraf di Karawaci, Selasa.

Ia mengatakan dari 92 fakultas kedokteran di Indonesia, yang memiliki program studi spesialis hanya 20 kampus, spesialis saraf sekitar 13 kampus, sementara sub spesialis saraf intervensi persentasinya lebih sedikit lagi.

Baca juga: Rp30 triliun dialokasikan Kemenkes untuk alat non-bedah katastropik

"Harusnya (program studi spesialis) diperbanyak. Saya akan perbanyak program studi spesialis dan rumah sakit pendidikan, baik di fakultas swasta maupun negeri," ujarnya.

Menurut Budi, pemenuhan tenaga kesehatan hingga ke pelosok Indonesia sangat diperlukan, khususnya dalam menekan laju kasus penyakit katastropik seperti stroke, jantung, ginjal, dan diabetes.

"Penyakit stroke menjadi penyakit penyebab kematian tertinggi kedua di dunia pada 2015 dan penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada 2014," katanya.

Menurut dia, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur di atas 15 tahun sebesar 10,9 persen, atau diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang.

Baca juga: Menkes: Indonesia terus lakukan reformasi sistem kesehatan

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner tetap pada angka 1,5 persen pada 2013 hingga 2018, penyakit gagal ginjal kronis dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.

Data Riskesdas 2018 juga melaporkan bahwa prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia mencapai 1,5 persen, tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Utara 2,2 persen, Yogyakarta 2 persen, dan Gorontalo 2 persen.

Provinsi lainnya adalah Aceh 1,6 persen, Sumatera Barat 1,6 persen, DKI Jakarta 1,9 persen, Jawa Barat 1,6 persen, Jawa Tengah 1,6 persen, Kalimantan Timur 1,9 persen, Sulawesi Utara 1,8 persen dan Sulawesi Tengah 1,9 persen.

Baca juga: Kemenkes instruksikan dinas segera terapkan transformasi kesehatan

Jika dilihat dari tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita penyakit jantung dengan prevalensi 1,6 persen dibandingkan penduduk perdesaan yang hanya 1,3 persen.

"Banyak spesialis yang akan kami cetak. Itu reformasi yang akan kami transformasi di bidang kesehatan,” ujarnya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022