• Beranda
  • Berita
  • Dolar menguat, terangkat yield obligasi dan yen jatuh dekati level 150

Dolar menguat, terangkat yield obligasi dan yen jatuh dekati level 150

20 Oktober 2022 14:24 WIB
Dolar menguat, terangkat yield obligasi dan yen jatuh dekati level 150
Ilustrasi: Uang kertas Dolar AS dan Yen Jepang. (ANTARA/Shutterstocks/pri)
Dolar terus menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya di sesi Asia pada Kamis sore, karena imbal hasil obligasi Pemerintah AS mencapai puncak tertinggi multi-tahun, sementara yen merosot ke terendah baru 32-tahun dan membuat pasar sangat waspada terhadap tanda-tanda intervensi.

Greenback yang melonjak juga mendorong yuan China di pasar internasional ke rekor terendah di Asia, meskipun kemudian memangkas kerugian intraday-nya di tengah laporan potensi pengurangan waktu karantina COVID bagi pengunjung.

Yen yang rapuh mencapai titik terendah baru di 149,98 per dolar, terendah sejak Agustus 1990, dan terakhir dibeli 149,975.

Mata uang Jepang telah mengalami kekalahan beruntun selama 11 sesi berturut-turut hingga penutupan Rabu (19/10/2022), dan telah memperbarui posisi terendah 32 tahun untuk enam sesi sekarang.

"Sepertinya begitu ketakutan atau gugup sehingga mereka tidak tahu harus berbuat apa saat ini," kata Kepala Strategi Valas National Australia Bank, Ray Attrill.

"Mengingat bahwa imbal hasil obligasi pemerintah telah bergerak kuat di atas 4,0 persen, jika bukan karena ancaman intervensi maka saya pikir dolar/yen sudah akan diperdagangkan di atas 150."

Imbal hasil acuan obligasi pemerintah AS 10-tahun naik menjadi 4,154 persen pada Kamis, level tertinggi sejak pertengahan 2008, sementara imbal hasil surat utang pemerintah dua tahun menyentuh tertinggi 15-tahun di 4,582 persen.

Baca juga: Dolar menguat bersama imbal hasil obligasi pemerintah, sterling jatuh

Bulan lalu Jepang melakukan intervensi di pasar valuta asing membeli yen untuk pertama kalinya sejak 1998, dalam upaya guna menopang mata uang yang babak belur.

Yuan di pasar internasional terakhir 0,41 persen lebih tinggi pada 7,2401 per dolar, setelah mencapai terendah di 7,2794 di awal sesi, level terlemah sejak data tersebut pertama kali tersedia pada 2011.

China sedang mempertimbangkan pengurangan durasi karantina untuk pengunjung yang datang dari 10 hari menjadi tujuh hari, Bloomberg News melaporkan pada Kamis, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

"Setiap langkah ke arah pengurangan pembatasan akan menjadi hal yang baik bagi ekonomi China ... tapi mungkin terlalu dini (untuk mengatakan) sampai kita mendapatkan kejelasan lebih lanjut," kata Kepala Ekonomi Internasional dan Berkelanjutan Commonwealth Bank of Australia, Joseph Capurso.

Terhadap sekeranjang mata uang, indeks dolar AS memberikan kembali beberapa keuntungan setelah lonjakan 0,9 persen semalam, dan terakhir 0,13 persen lebih rendah pada 112,83.

Euro naik 0,1 persen menjadi 0,9782 dolar, menyusul penurunan hampir 1,0 persen semalam. Sterling naik tipis 0,01 persen pada 1,12245 dolar, sedikit terbantu oleh inflasi dua digit September, memperkuat taruhan untuk kenaikan suku bunga yang lebih agresif dari bank sentral Inggris (BoE).

Baca juga: Dolar melemah, sentimen investor didukung perubahan anggaran Inggris

Tetapi pound belum keluar dari kesulitan karena gejolak politik berlanjut, dengan pengunduran diri terbaru dari menteri dalam negeri Inggris menambah ketidakpastian.

"Perjuangan Truss untuk tetap menjabat terus berlanjut," kata Ahli Strategi Pasar Saxo Markets, Charu Chanana, mengacu pada Perdana Menteri Liz Truss.

Sementara itu, kiwi merosot 0,34 persen menjadi 0,5657 dolar AS, berkurang dari reli singkat awal pekan ini. Dolar Selandia Baru telah mencapai level tertinggi hampir dua minggu di 0,5719 dolar AS pada Selasa (18/10/2022), setelah rilis data inflasi yang panas.

Aussie turun 0,12 persen menjadi 0,6263 dolar AS, dengan data Kamis menunjukkan petunjuk bahwa pasar tenaga kerja Australia yang sangat ketat mungkin akhirnya akan melonggar.

Namun, angka inflasi yang menyengat minggu ini dari Inggris, Selandia Baru dan Kanada menunjukkan bahwa bank-bank sentral di seluruh dunia jauh dari menjinakkan inflasi yang tinggi selama beberapa dekade, bahkan dengan mengorbankan pertumbuhan yang menyesakkan.

"Karena bank-bank sentral salah menilai seberapa tinggi inflasi akan terjadi, mereka benar-benar masih mengejar dengan menaikkan suku bunga secara signifikan, dan itu akan menyebabkan masalah besar bagi ekonomi dunia, terutama tahun depan," kata Capurso dari CBA.

Semalam pejabat Fed juga melanjutkan retorika hawkish mereka, karena Presiden Federal Reserve Bank of Minneapolis Neel Kashkari mengatakan bahwa permintaan pasar kerja AS tetap kuat dan tekanan inflasi yang mendasari mungkin belum mencapai puncaknya.

Baca juga: Rupiah melemah, pasar khawatir resesi global & pengetatan bank sentral

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022