• Beranda
  • Berita
  • Gubernur BI: Ekonomi global melambat pada 2023, disertai risiko resesi

Gubernur BI: Ekonomi global melambat pada 2023, disertai risiko resesi

20 Oktober 2022 16:22 WIB
Gubernur BI: Ekonomi global melambat pada 2023, disertai risiko resesi
Arsip foto - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada gelaran 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (15/7/2022). ANTARA FOTO/POOL/Fikri Yusuf/hp/aa.

Pertumbuhan ekonomi global melambat disertai dengan tekanan inflasi yang tinggi dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan setelah membaik pada tahun 2022 pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, bahkan disertai dengan risiko resesi di beberapa negara.

"Pertumbuhan ekonomi global melambat disertai dengan tekanan inflasi yang tinggi dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," ucap Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Oktober 2022 dengan Cakupan Triwulanan yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.

Ia membeberkan revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju, terutama Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China.

Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.

Baca juga: BI kembali pangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global jadi 2,8 persen

Dampak rambatan dari fragmentasi ekonomi global diperkirakan juga akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara pasar berkembang alias Emerging Markets (EMEs).

Sementara itu, kata Perry Warjiyo, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif.

"Kenaikan suku bunga acuan AS yang diperkirakan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang alias higher for longer mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan atau depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia," tuturnya.

Dengan begitu, sambung dia, tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, dan di negara pasar berkembang, termasuk Indonesia, diperberat pula dengan aliran keluar investasi portofolio asing.

Baca juga: BI: Aliran modal asing keluar capai Rp4,22 triliun pada 10-13 Oktober
Baca juga: BI kembali naikkan suku bunga acuan 50 bps, menjadi 4,75 persen


 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022