Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menyatakan komitmen kepala daerah hingga perubahan perilaku dalam masyarakat telah menjadi tantangan negara dalam mengentaskan permasalahan stunting pada anak.
“Meskipun terjadi penurunan, namun masih ada sejumlah tantangan ke depan yang harus dikerjakan pemerintah mengingat Presiden Joko Widodo menargetkan prevalensi stunting harus turun menjadi 14 persen pada 2024,” kata Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres Suprayoga Hadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Suprayoga menyatakan angka prevalensi stunting di tingkat nasional telah mengalami penurunan dari 27,67 persen pada 2019 menjadi 24,4 persen berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021.
Meski mengalami penurunan, negara mengalami lima tantangan seperti kepala daerah dalam menjaga komitmennya dalam menjalankan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 terkait percepatan penurunan stunting.
Baca juga: BKKBN: SDM dan pengetahuan keluarga tantangan turunkan stunting
Baca juga: Edukasi keluarga masih jadi tantangan dalam pencegahan stunting
Selain Perpres, RAN Pasti (Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia) yang diterbitkan melalui peraturan Kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2021, juga harus dijadikan sebagai landasan oleh setiap kepala daerah.
Kuatnya komitmen dan stabilitas daerah menyusun regulasi dalam mempercepat menurunkan angka stunting diharapkan dapat terus terjaga sebagai bentuk nyata dari penerapan Perpres itu.
Tantangan kedua konvergensi program dan kegiatan. Semua anggaran perlu dikonvergensikan karena dana yang diberikan untuk berbagai macam program sudah tersebar seperti di tingkat pusat ada di 20 kementerian/lembaga.
"Kita tahu uang untuk stunting contohnya dari tingkat pusat ada sekitar Rp34 triliun, dari 20 kementerian/lembaga ini, belum lagi dari dana alokasi khusus transfer daerah, itu juga cukup besar,” katanya.
Kemudian tantangan ketiga berkaitan dengan peningkatan gizi dan pangan. Contohnya, ketika masyarakat yang hidup di pesisir, tidak bisa memanfaatkan sumber daya alamnya seperti ikan yang mengandung protein tinggi.
Pemanfaatan pangan lokal penting untuk bisa mendukung peningkatan gizi keluarga dan masyarakat sekitar. Sedangkan tantangan keempat yakni data, inovasi, monitoring, evaluasi yang harus di dorong lebih jauh ke depan.
Tantangan yang kelima adalah perubahan perilaku dalam masyarakat. Menurutnya, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk merubah perilaku masyarakat kampanye dan sosialisasi. Sehingga, harus menjadi fokus utama dari kementerian/lembaga terkait.
Plt. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Barat Muslimat membeberkan beberapa faktor seperti perbaikan pola asuh yang diberikan orang tua terhadap anak, terutama masa periode emas yakni 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) harus menjadi perhatian dalam upaya percepatan penurunan stunting.
Dirinya berharap ke depan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan mendapatkan pengetahuan yang mumpuni sehingga bisa dikatakan layak untuk melahirkan anak.
Baca juga: Kepala BKKBN: Stigma dan mitos jadi tantangan tingkatkan KB pada pria
Baca juga: BKKBN: 71,4 juta keluarga jadi tantangan bentuk keluarga berkualitas
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022