Mereka menjelma sebagai entitas sosial dan politik yang sudah terbentuk jauh sebelum kelahiran kelompok intelektual pribumi pada masa pergerakan nasional.
Transformasi ini perlu dilihat secara objektif agar kita dapat melihat peran kalangan santri amatlah penting, tidak hanya dalam peran kepemimpinannya dalam melawan kolonialisme di masa lalu, melainkan juga kiprah pemikirannya bagi bangsa dalam menghadapi persoalan di masa kontemporer.
Pemerintah pun menyadari hal itu. Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta menetapkan Hari Santri Nasional diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Penetapan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan oleh para ulama.
Tanggal 22 Oktober merujuk pada peristiwa bersejarah, yakni seruan jihad kepada umat Islam untuk melawan tentara Sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang dicetuskan oleh KH. Hasjim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Kompleksitas tantangan
Kalangan santri yang lekat dengan pendidikan agama harus menggandakan kesadaran bahwa tantangan bangsa dewasa ini jauh lebih kompleks dari tantangan menghadapi penjajah di masa lalu.
Apalagi bila tantangan itu diletakkan dalam realitas kemajemukan bangsa Indonesia yang memungkinkan ancaman terbesar tidak lagi datang dari luar, melainkan dari dalam tubuh sendiri.
Karena keragaman budaya, etnis dan agama menjadi kekayaan, sekaligus titik lemah yang dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak yang senang bila bangsa kita terpuruk. Fakta heterogenitas ini pula yang membuat ancaman perpecahan akan selalu aktual bagi negara sebesar Indonesia.
Aktualitas ancaman perpecahan itu menjadi semakin runyam bila sudah dicampuri oleh persoalan politik yang ujungnya bisa menciptakan keterbelahan sosial.
Keterbelahan sosial yang disebabkan oleh perbedaan dalam dunia politik menjalar hingga ke akar rumput dan masih dapat dirasakan hingga kini.
Masyarakat kita menjadi terkoyak oleh ulah segelintir elit yang kurang bijaksana dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan politik yang memunggungi spirit kebangsaan.
Hal ini tentu akan menjadi masalah besar bila semua komponen bersikap gamang dalam mengelola segala persoalan di tengah perbedaan.
Dalam keadaan demikian rasanya kita tidak bisa terlalu mengandalkan orang-orang berpendidikan tinggi dengan gaya elitis dan kritis untuk menjamin terciptanya suatu hubungan sosial yang harmoni.
Rata-rata mereka mungkin bisa mendiagnosa gejala dan sebab timbulnya penyakit di ranah politik dan ranah sosial dengan setumpuk teori.
Tetapi kalangan intelektual itu belum tentu mampu untuk memberikan penanganan yang tepat dalam menghadapi problematika sosial.
Selain karena banyak di antara mereka yang cenderung berjarak dengan masyarakat di akar rumput. Teori-teori yang mereka miliki juga belum tentu laku dibawa ke lapangan.
Dari sini kita memerlukan adanya entitas yang merepresentasikan kemampuan bagi tegaknya sistem nilai yang menjamin toleransi, kesetaraan hak, kerja sama serta menjadi pencegah dari setiap gejala yang mengarah pada terciptanya disharmoni sosial.
Entitas itu harus yang mumpuni dalam memahami batin masyarakat dan sekaligus yang dianggap memiliki kearifan serta diakui kewibawaannya. Dan bagi saya, semua parameter yang diperlukan tersebut dapat ditemukan dalam figur di kalangan santri.
Bekal
Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa kalangan santri mempunyai kans besar untuk mengisi dan memainkan peran dalam merajut sobekan di ruang sosial kita. Ilmu agama yang dimiliki oleh kalangan santri merupakan bekal penting untuk mengharmonikan dan menyatukan masyarakat.
Para santri mengetahui secara persis bagaimana Islam menjabarkan rincian perkara ihwal problematika umat yang merentang sejak masa kenabian hingga masa para ulama kontemporer.
Umumnya, setiap perkara yang dialami masyarakat terdahulu yang termuat baik dalam sirah, hadits, maupun dalam kitab-kitab klasik selalu berkenaan dengan problem riil/nyata yang tidak selalu berhubungan dengan rumusan, teori dan pemikiran melangit yang rigid.
Selain itu, bekal pengalaman selama menimba ilmu membuat para santri mengetahui bagaimana keberadaan pesantren menjadi pusat gravitasi yang mampu menarik dan memberikan nilai positif terhadap lingkungan sekitarnya. Para santri menyadari bila ruang sosial di masyarakat kita terbelah, kemungkinan ada yang tidak beres dengan lingkungan sekitarnya.
Artinya, gejala sosial yang timbul di permukaan hampir pasti memiliki korelasi dengan ketiadaan entitas seperti pesantren yang berisi kiai serta para santri sebagai insan-insan tercerahkan ilmu agama yang menjadi teladan dalam menjalani hidup secara rukun.
Dengan lain perkataan, hubungan yang harmonis di tengah masyarakat akan tercipta bila syarat utamanya terpenuhi, yakni berfungsinya entitas atau unit yang dianggap mampu dijadikan contoh menghidupkan lingkungan sekitarnya secara positif. Karena itu kita jarang menyaksikan suatu tempat yang dekat dengan lingkungan pesantren terpengaruh oleh perkara negatif.
Hampir tidak terdengar suatu daerah yang dekat dengan pesantren menjadi sarang menjamurnya segala jenis penyakit masyarakat. Amat jarang pula terdengar cerita tentang suatu daerah di lingkungan pesantren menjadi viral karena terjadinya huru-hara sosial. Sebaliknya, justru daerah tersebut menjadi terpengaruh oleh suasana positif.
Subkultur
Fenomena sosiologis itu sampai-sampai membuat beberapa ilmuwan menyebutkan bahwa pesantren telah menjadi subkultur yang tidak hanya bersifat independen, tetapi juga mampu menarik perhatian sekaligus mempengaruhi lingkungan sosial sekitarnya.
Hal ini karena pesantren yang berisi kiai dan para santri dianggap memiliki patokan moral dan ilmu agama mumpuni, sehingga tanpa ragu masyarakat akan mengikutinya.
Pengalaman semacam itu berguna sebagai bekal untuk terjun ke “dunia baru” yang lebih kompleks. Para santri yang telah lulus dari menimba ilmu agama mungkin akan terjun ke tengah lingkungan yang asing dan jauh dari kehadiran pesantren.
Dari sinilah kehadiran para santri diukur, yakni sejauh mana peran serta pengaruhnya di tengah masyarakat. Bila dulu ketika di pesantren seorang santri menjadi bagian penting dalam menanamkan nilai-nilai positif terhadap lingkungan sekitarnya, maka ketika terjun ke dunia baru seorang santri akan berjuang sendiri dengan tanggung jawab yang lebih besar.
Mereka tidak lagi melihat kehadiran kiainya secara fisik sebagai patokan moral dalam setiap tindakannya. Yang mereka lihat adalah masyarakat yang beragam isi kepala dan dengan keunikannya masing-masing.
Meski demikian para santri tetap merasa terikat dengan kiainya sepanjang hidupnya, setidak-tidaknya sebagai sumber inspirasi dan bantuan moral bagi kehidupan individu mereka.
Itulah sekurang-kurangnya bekal penting yang saya kutip dari catatan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam karyanya berjudul “Pesantren sebagai Subkutur”.
Selamat Hari Santri Nasional.
*) Hasan Sadeli adalah sejarawan, lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
Pewarta: Hasan Sadeli *)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022