Berdasarkan hasil uji laboratorium Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, kakao hasil produksi petani Kabupaten Madiun yang telah difermentasi menghasilkan produk bertipe A atau tipe tinggi.
Secara total, wilayah pembudidayaan kakao di Kabupaten Madiun mencapai luas 4.363 hektare yang ada di lereng Gunung Wilis.
Hal itu pula yang menjadikan Kabupaten Madiun termasuk dalam pengembangan Kawasan Selingkar Wilis (KSW) di Provinsi Jawa Timur. Potensi komoditas perkebunan di Kabupaten Madiun, khususnya kakao, layak untuk dikembangkan guna mendongkrak perekonomian warga setempat.
Sesuai data Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Madiun, produksi kakao di wilayah setempat pada tahun 2020 mencapai 642 ton. Jumlah tersebut meningkat di sepanjang tahun 2021 yang mencapai 652 ton.
Sentra terluas pembudidayaan kakao di Kabupaten Madiun berada di Kecamatan Kare dan Dagangan. Salah satunya adalah di Desa Bodag, Kecamatan Kare.
Luas lahan pembudidayaan tanaman kakao di Desa Bodag ada sekitar 40 hektare. Kebanyakan merupakan tanaman milik warga secara perorangan yang ditanam di kebun rumah. Untuk produksinya dalam satu tahun sekitar 15 ton.
Hasil panen kakao tersebut selama bertahun-tahun dijual ke beberapa daerah, seperti Blitar hingga Jakarta, dalam bentuk biji kakao kering. Karena hanya dalam bentuk kakao kering, maka nilai jualnya tergolong rendah.
Saat itu, warga Desa Bodag belum memiliki keahlian untuk mengolah kakao menjadi produk cokelat siap konsumsi. Hal itu karena keterbatasan sumber daya manusia dan modal untuk membeli peralatan pengolahan kakao.
Sisi lain, harga biji kakao yang tidak stabil menyebabkan permasalahan tersendiri bagi para petani kakao di desa tersebut.
Sehingga, demi menyelamatkan kelompok petani kakao, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat berinisiatif dan menciptakan wadah bagi para petani agar dapat langsung menjual hasil panen kakaonya dengan harga yang stabil dan sesuai harapan.
Kondisi tersebut yang membuat hati Sugito, warga setempat tergerak. Dirintis di tahun 2019 dan mulai beroperasi pada tahun 2020, pihaknya bersama warga mendirikan "Rumah Cokelat Bodag" yang dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Abadi Bodag.
Selain tempat produksi kakao menjadi cokelat, rumah cokelat itu juga dikonsep untuk menjadi tempat wisata kuliner dan wisata edukasi khusus olahan cokelat.
Pria yang kini menjadi Ketua Pengelola Rumah Coklat Bodag itu menuturkan, pendirian rumah coklat itu terwujud melalui program bantuan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan nilai mencapai Rp1,5 miliar.
Dana bantuan tersebut digunakan untuk membina sumber daya manusia yang semuanya merupakan warga desa setempat, membangun rumah produksi dan kafe, serta membeli alat produksi cokelat.
Dengan keberadaan rumah cokelat itu, para petani dapat langsung menjual kakao kering yang telah difermentasi dan selanjutnya diolah di situ oleh warga setempat yang telah mendapatkan pelatihan untuk menjadi varian produk olahan cokelat.
Tak hanya itu, melalui konsep wisata kuliner, cokelat hasil olahan rumah coklat juga bisa dijual di kafe setempat yang menawarkan sensasi menikmati cokelat hangat maupun dingin di lereng Gunung Wilis.
Cokelat yang diproduksi adalah biji kakao kering yang sudah difermentasi, kemudian biji kakao disangrai dalam suhu tinggi dalam waktu tertentu. Kemudian dipisahkan kulit ari dan biji kakao, selanjutnya digiling hingga menjadi pasta cokelat.
Pasta cokelat tersebut kemudian siap untuk diolah menjadi berbagai olahan cokelat, seperti cokelat batangan, permen cokelat, dan lemak cokelat. Tak hanya itu, rumah cokelat Desa Bodag juga memproduksi bubuk cokelat, mulai dari bubuk cokelat murni, bubuk coklat 3 in 1, dan minuman coklat sebagai bahan minuman cokelat panas maupun es.
Dongkrak ekonomi
Keberadaan rumah cokelat di Desa Bodag telah dapat mendongkrak ekonomi warga desa setempat. Selain menampung hasil panen petani kakao Madiun, juga sukses menerapkan sistem Tanam Petik Olah Kemas Jual (TPOJK), seperti yang dianjurkan pemerintah sebagai upaya menambah nilai jual komoditas dan meningkatkan kesejahteraan petani dan warga.
Dengan sistem TPOJK, panenan kakao bisa memiliki nilai tambah yang lebih tinggi setelah melalui proses olah dan kemas dengan bagus serta dijual menjadi cokelat yang banyak diminati.
Berada di lahan sekitar 2.500 meter persegi milik Pemerintah Desa Bodag, rumah cokelat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat produksi cokelat, namun juga kafe yang menawarkan sensasi berbeda menikmati cokelat hangat, dingin, ataupun permen langsung dari alam.
Keberadaan rumah cokelat itu juga sebagai tempat wisata edukasi bagi para mahasiswa dan siswa sekolah. Mereka bisa belajar tentang pengolahan cokelat, mulai fermentasi hingga pengemasan.
Saat ini, rumah cokelat tersebut telah menjadi jujukan penikmat cokelat dari berbagai daerah, untuk menikmati aneka olahan cokelat dengan panorama lereng Pegunungan Wilis yang sejuk.
Saat akhir pekan atau liburan, bangunan yang terletak di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut ramai dikunjungi wisatawan yang ingin "nyokelat".
Beromzet hingga puluhan juta Rupiah per bulan, badan usaha desa tersebut telah memberikan lahan pekerjaan bagi warga Desa Bodag. Selain aneka olahan varian cokelat, wisata kuliner di rumah cokelat itu juga menyediakan menu makanan lain, baik berat ataupun makanan ringan.
Semua makanan tersebut dimasak oleh ibu-ibu warga desa setempat yang dikaryakan. Mereka mengaku sangat terbantu karena mendapatkan penghasilan tambahan.
Sejauh ini kemampuan produksi rumah cokelat masih sekitar 4 ton kakao. Dengan rencana penambahan mesin, diharapkan produksi badan usaha desa tersebut dapat meningkat.
Selain itu, ke depan, rumah cokelat itu juga akan dilengkapi dengan kebun kakao. Sehingga pengunjung bisa mengetahui proses produksi cokelat, mulai dari pohon kakao, dipanen, diolah dan dikemas menjadi produk varian cokelat.
Pewarta: Louis Rika Stevani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022