Harga minyak sawit kemungkinan akan menguat lebih lanjut karena hujan yang berlebihan di negara-negara produsen utama membatasi produksi, sementara permintaan meningkat untuk penggunaannya dalam makanan dan bahan bakar nabati, kata pejabat industri.Tapi harga bisa bergerak di atas 1.100 dolar AS jika Indonesia memutuskan untuk mengembalikan pungutan ekspor, yang sangat mungkin terjadi
Harga minyak sawit telah naik sekitar seperlima bulan ini tetapi masih diperdagangkan jauh di bawah level tertinggi sepanjang masa pada Maret. Lonjakan harga diperkirakan akan menambah beban konsumen yang sudah terkena inflasi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina, tetapi ekspor yang lebih tinggi dan produksi yang lebih rendah akan membantu produsen minyak sawit utama Indonesia dan Malaysia menurunkan persediaan.
Para pedagang mengatakan pengiriman minyak sawit mentah (Crude Palm OIl/CPO) November ke India, importir terbesar dunia, ditawarkan dengan harga 976 dolar AS per ton termasuk biaya, asuransi dan pengiriman.
Pengiriman Januari dikutip pada 1.010 dolar AS per ton, kata mereka.
"Tapi harga bisa bergerak di atas 1.100 dolar AS jika Indonesia memutuskan untuk mengembalikan pungutan ekspor, yang sangat mungkin terjadi," kata dealer perusahaan perdagangan global yang berbasis di Mumbai.
Keputusan Indonesia untuk menangguhkan pungutan ekspor pada Juli karena penumpukan stok menurunkan harga minyak sawit dari tertinggi Maret sekitar 2.010 dolar AS per ton.
Terlepas dari kenaikan harga bulan ini, minyak sawit diperdagangkan dengan diskon sekitar 400 dolar AS per ton untuk menyaingi minyak kedelai, tertinggi dalam satu dekade, kata para pedagang. Minyak kedelai mentah untuk pengiriman November di India dikutip pada 1.405 dolar AS per ton.
"Perbedaan selisih antara minyak sawit dan kedelai sangat besar dan tidak berkelanjutan," kata Direktur Pelaksana Gemini Edibles dan Fats India Pvt. Ltd, Pradeep Chowdhry, importir India terkemuka.
"Cara permintaan beralih ke minyak sawit dari minyak nabati lainnya, sangat mungkin (harga) minyak sawit akan bergerak lebih tinggi."
Biasanya produksi minyak sawit mulai menurun dari November di Indonesia dan Malaysia, yang menyumbang lebih dari 80 persen produksi global. Namun tahun ini, penurunan produksi diperkirakan akan lebih tajam karena pola cuaca La Nina ketiga berturut-turut yang langka membawa hujan lebat di seluruh Asia Tenggara.
"Kami menghadapi hujan deras selama tiga hari terakhir, ada banjir kecil di sana-sini," kata Fabian Lim, seorang manajer perkebunan di negara bagian Sabah, penghasil minyak sawit terbesar di Malaysia. "Ini mempengaruhi evakuasi panen saya."
Banjir dan hujan lebat membuat para pekerja sulit memanen tanaman kelapa sawit dan memindahkan buah ke pabrik untuk diproses.
Diskon untuk kedelai, serta penangguhan pungutan ekspor, telah mempercepat ekspor minyak sawit di Indonesia dan stok turun lebih cepat dari yang diperkirakan, kata dealer yang berbasis di Mumbai.
Stok minyak sawit Indonesia turun menjadi 4,04 juta ton pada akhir Agustus, dibandingkan dengan 5,91 juta ton pada bulan sebelumnya dan 6,69 juta ton pada akhir Juni, menurut perkiraan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Permintaan biodiesel berbasis minyak sawit juga terlihat meningkat, menurut data GAPKI. Pada Januari-Agustus, Indonesia mengekspor 206.000 ton biodiesel, melampaui 167.000 ton yang diekspor negara itu pada 2021.
Pasokan minyak bunga matahari, alternatif untuk minyak sawit, dari wilayah Laut Hitam telah bergejolak setelah perang Rusia-Ukraina, kata para pedagang.
Wilayah Laut Hitam menyumbang 76 persen dari ekspor minyak bunga matahari dunia dan gangguan apa pun dapat mengakibatkan lebih banyak permintaan minyak sawit, kata Kepala Eksekutif Sunvin Group Sandeep Bajoria.
Keputusan Indonesia untuk menangguhkan pungutan ekspor menurunkan harga minyak sawit dan penurunan dipercepat setelah pengiriman minyak bunga matahari dilanjutkan dari wilayah Laut Hitam di bawah kesepakatan yang ditengahi PBB pada Agustus. Bajoria mengatakan pasokan bisa terganggu lagi saat perang meningkat.
Pembeli juga khawatir Jakarta tidak akan mempertahankan pembebasan pungutan ekspor setelah Desember, karena stok akan menjadi lebih mudah dikelola. "Pungutan Indonesia akan membuat minyak sawit lebih mahal pada saat dunia sedang berjuang untuk mendapatkan minyak bunga matahari," kata dealer yang berbasis di New Delhi.
Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022