"Intinya, siapa yang menghasilkan sampah, itu yang harus bayar. Kalau semua ditanggung pemerintah, kan anggarannya terbatas," kata Pastika dalam kegiatan reses ke Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali di Denpasar, Selasa.
Menurut Pastika, di negara lain dengan pengenaan tipping fee dapat digunakan untuk membiayai teknologi dalam mengatasi permasalahan sampah dan memperbaiki pencemaran lingkungan.
Baca juga: Anggota DPD: Viralkan usaha daur ulang sampah dukung pariwisata Bali
"Teknologinya banyak di seluruh dunia, ada China, Eropa, Korea, Jepang dan sebagainya. Waktu saya jadi Gubernur Bali ada 52 perusahaan yang mau. Tetapi, akhirnya semua gagal, karena begitu bicara soal tipping fee tidak ada yang mau," ujarnya.
Pastika mengatakan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan sampah, namun ada keterbatasan anggaran. Solusinya dengan teknologi. Negara lain bisa menyelesaikan permasalahan sampah dengan penggunaan teknologi. Tetapi, teknologi itu ada biayanya, sehingga harus mau keluar biaya itu.
"Logikanya kalau kita bikin sampah, kita harus tanggung jawab dengan membayar untuk mengurusi sampah tersebut," ujarnya.
Ia mengakui persoalan sampah tidak sederhana. Jadi, semua harus ikut memikirkan dan bertanggung jawab. Tidak cukup mengatasi sampah kalau hanya dengan memindahkan saja.
Wakil Ketua Badan Kehormatan DPD RI itu menyampaikan di Malaysia tarif tipping fee sebesar 25 dolar AS untuk satu ton sampah yang dikirim ke TPA. Sedangkan di Bali bisa saja segitu atau kurang, sehingga dana yang terkumpul untuk teknologi pengelolaan sampah bisa lumayan jumlahnya.
Namun, sebelum kebijakan tersebut diterapkan, harus ada payung hukum dalam bentuk peraturan gubernur atau peraturan daerah. "Intinya untuk mengatasi masalah sampah ini harus digunakan pendekatan hukum seperti halnya yang sudah diterapkan di negara lain," ucapnya.
Baca juga: Empat daerah di Bali jadi fokus pengelolaan sampah selama G20
Saat masih menjabat Gubernur Bali, Pastika masih terkendala persoalan politik di lembaga legislatif untuk mengambil kebijakan tersebut. Namun, Gubernur Bali Wayan Koster yang menjabat saat ini diyakini tidak akan terkendala persoalan politik, karena masih satu warna dengan mayoritas anggota DPRD Bali.
Solusi berikutnya, kata Pastika, juga bisa dengan menindaklanjuti rencana tukar guling Lapas Kelas II A Denpasar di Kerobokan, Kabupaten Badung, dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung yang sempat disampaikan Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM).
"Kondisi Lapas Kerobokan sudah melebihi kapasitas dan masih menggunakan bangunan zaman Belanda yang dinilai rawan. Namun, yang menggunakan TPA untuk lapas harus siap menyelesaikan persoalan sampah itu sekaligus membangunnya," ucapnya.
Untuk perhitungan tukar guling, kata Pastika, tentu harus transparan. Tidak hanya melibatkan dua kementerian (KemenkumHAM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), juga Kementerian Keuangan dan pihak-pihak terkait lainnya.
Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali Ni Made Armadi mengatakan rata-rata volume sampah yang masuk ke TPA Regional Sarbagita, Suwung, Denpasar per harinya sekitar 1.000-1.100 ton.
Untuk saat ini, sampah yang masuk tidak saja yang diangkut oleh petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, juga oleh pihak swasta dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Baca juga: Luhut ingin pastikan Bali bebas sampah saat puncak acara KTT G20
Baca juga: Anggota DPD puji semangat anak muda Bali aktif tangani sampah
"Data Senin (24/10), volume sampah yang masuk ke TPA Suwung sebanyak 3.580 meter kubik atau setara 895 ton yang diangkut oleh 444 kendaraan," katanya.
Untuk kendaraan pengangkut sampah yang membawa sampah ke TPA Suwung selama ini hanya dikenakan biaya retribusi untuk kendaraan jenis truk sebesar Rp3.500 dan kendaraan seperti pikap sebesar Rp2.500.
Namun, biaya retribusi tersebut hanya dikenakan kepada truk pengangkut sampah dari kalangan swasta yang jumlahnya per hari sekitar 200 kendaraan, sedangkan truk pengangkut sampah dari DKP tidak dikenakan retribusi.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022