“Untuk diagnosis AKI itu memang salah satu kriterianya adalah dengan jumlah urine, kriteria jumlah urine itu cukup akurat. Tetapi bila tidak bisa memeriksakan secara akurat betul-betul hitungan (urine) mililiternya, maka kita harus melakukan pemeriksaan ureum-kreatinin,” kata Eka dalam webinar medis “Kewaspadaan dan Deteksi Dini Gangguan Ginjal Akut Atipikal pada Anak” di Jakarta, Selasa.
Menurut Eka, temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA)/acute kidney injury (AKI) progresif atipikal di RSCM menunjukkan mayoritas para pasien mengalami peningkatan kadar urine-kreatinin yang tinggi.
“Tertinggi itu 400 ureum-nya dan kreatinin itu 15. Padahal kita ingat bahwa ini adalah pasien-pasien kecil yang usianya kurang dari lima tahun dengan ureum kreatinin yang demikian tinggi,” katanya.
Dia menjelaskan tim ahli telah melakukan berbagai penelusuran penyebab GGAPA hingga pada akhirnya mencurigai intoksikasi senyawa etilen glikol (EG), merujuk pada kepustakaan dan kasus yang terjadi di Gambia, Afrika Barat.
Menurut Eka, biasanya pasien dengan intoksikasi etilen glikol menunjukkan kristal kalsium oksalat dalam urine. Namun pada kasus yang ditemui di RSCM, Eka mengatakan pasien datang dalam keadaan tidak ada urine sehingga pihaknya tidak dapat melakukan pemeriksaan kristal kalsium oksalat.
“Umumnya akan ada kristal, tapi kristal ini pada pasien kami sulit dikerjakan karena pasien-pasien memang datang dalam kondisi tidak ada urine yang bisa kami periksakan. Biasanya bila ada kristal, dia (kristal kalsium oksalat) akan bisa bertahan 6-10 hari,” katanya.
Eka menjelaskan pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap sisa sediaan obat, darah, dan urine pasien GGAPA di RSCM. Hasilnya, terdeteksi etilen glikol dan beberapa juga terdeteksi dietilen glikol. Sejumlah tata laksana pun dilakukan untuk menghilangkan senyawa tersebut.
“Setelah itu, maka kami berikan tata laksana yang sesuai untuk intoksikasi yaitu untuk suportifnya kami berikan natrium bikarbonat,” lanjut Eka.
Natrium bikarbonat berperan dalam mengoreksi asidosis dan mencegah perubahan glycolic dan asam oksalat menjadi glycolate dan oxalate. Terkait dengan intoksikasi, Eka mengatakan pihaknya tidak melakukan tindakan bilas lambung mengingat pasien-pasien sudah terlalu lama meminum obat yang diduga mengandung etilen glikol.
“Jadi kami memberikan natrium bikarbonat untuk mengoreksi asidosis. Kemudian belakangan baru kami tahu bahwa thiamin dan piridoksin itu juga direkomendasikan sehingga kami juga memberikan,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga memberikan obat penawar femopizole setelah mempelajari studi kepustakaan. Sementara dari sisi nefrologi untuk menghilangkan etilen glikol dan metabolitnya, pihaknya juga melakukan hemodialisis atau cuci darah.
Baca juga: Kemenkes: Gangguan ginjal akut menjurus pada keracunan obat
Baca juga: Pakar: Perbanyak minum air putih jika telanjur konsumsi Etilen Glikol
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022